Fight, cry, then kiss and make out
Pipit Indrawati 5 Januari 2011"Peace begins with a smile.." Mother Teresa
Well, bukankah begitu urutan ketika kita bertengkar dengan seseorang yang kita kasihi, pacar misalnya. We fight, one will cry or both cry, then we kiss and make out. I’ve been in too many dramas of this love pattern. Bertengkar or arguing dengan pacar karena suatu hal yang tidak sengaja kita lakukan atau hal yang tidak diniatkan untuk menyakiti the other person, lalu menangis, kemudian berdamai dan kembali saling menyayangi, bahkan lebih kuat lagi.
Namun, hari ini saya lupa akan love pattern ini sehingga saat ada dua siswa kelas tiga yang saling memukul kepala dengan sorot kemarahan yang tajam, saya pun terperanjat dan ngeri melihatnya. Saya berpikir bagaimana bisa anak-anak sekecil mereka, semuda mereka, bisa memiliki sorot kemarahan dan kebencian yang seperti itu. Bagaimana bisa mereka saling menyakiti dengan saling memukul kepala temannya. Bagaimana bisa mereka berbaku hantam tanpa ampun dan penuh dendam seperti itu.
Banyak hal buruk terjadi karena ketidaksengajaan. Karena khilaf semata yang kemudian disesali namun sudah terlambat untuk mengulang kembali. Ada banyak kasus pembunuhan yang bermula dari pertengkaran kecil yang dilanjutkan dengan baku hantam tanpa niat ingin membunuh sama sekali, namun ketika manyadari bahwa sang lawan sudah lemas terkulai, barulah kesadaran kembali.
Entah bagaimana pikiran saya bisa sampai kesitu setelah melihat sorot kebencian dan kemarahan dalam mata mereka. Saya mengingatkan diri saya bahwa mereka masih anak-anak, mereka tidak akan terjatuh dalam hal seburuk yang saya pikirkan diatas.
Namun kembali saya berpikir, justru karena mereka masih anak-anak, sorot kebencian dan kemarahan yang seperti itu tidak seharusnya ada. Sorot kebencian dan kemarahan itu harus segera dipadamkan.
Malam harinya saya bercerita kepada seseorang yang istimewa (back then, still now) mengenai pertengkaran kedua anak tersebut. Saya mengatakan betapa awfull nya hal tersebut dan tidak seharusnya terjadi dan bahwa seharusnya lingkungan sekitar mereka bertindak untuk mengatasi hal ini. Saya menambahkan akan kebingungan saya mendamaikan mereka dan membuat mereka berhenti membenci.
Kemudian seseorang istimewa itu berkata ‘Life is hard. Hidup ini keras. Tidak seindah dan senyaman hidup anak-anak di kota. Itulah hidup dan hari-hari yang harus dihadapi anak-anak desa ini’.
Dan saya pun terdiam ... mencerna kata-katanya... dan merasa betapa egoisnya saya dalam melihat hal ini...
Tahu apa saya akan betapa kerasnya hidup anak-anak ini. Saya tidak tahu keseharian mereka. Saya tidak tahu bagaimana keluarga mereka, kondisi ekonomi dan keharmonisannya. Saya tidak tahu akan budaya mereka.
Jika seorang ayah memukuli kaki anaknya dengan kayu karena anak tersebut sudah pergi berjalan kaki jauh ke desa sebelah tanpa ijin... saya tidak bisa seenaknya menghakimi bahwa tindakan tersebut adalah salah. Tidak ada yang salah dalam suatu budaya dan keseharian hidup sebuah masyarakat. Sang ayah merupakan hasil dari didikan orang tuanya yang terdahulu. Dan ayahnya sang ayah ini mungkin juga merupakan hasil didikan yang keras dari ayahnya saat kecil dulu. Dan didikan yang keras ini muncul karena memang kehidupan mereka keras. Betapa susahnya mencari sesuap nasi. Betapa murah harga setetes keringat yang mengucur deras demi makan anak dan istri.
Setelah kelas selesai, saya memanggil kedua anak tersebut ke meja guru dan menanyakan penyebab pertikaian mereka. Semua bermula saat salah seorang anak menyeret kursi temannya kebelakang dengan niat untuk sekedar mengerjai dan bukan menyakiti. Namun si anak yang hendak duduk, yang mengira bahwa kursinya ada tepat dibelakangnya pun terjatuh dan kepalanya terbentur di lantai. Kemudian mulailah si anak yang terjatuh ini memukul kepala temannya yang mengerjai kursi itu untuk pembalasan. Dari situlah pukul-pukulan kepala terjadi. Dan mereka sama-sama menangis saat pertengkaran itu terjadi.
Menangis adalah sebuah bentuk kekecewaan. Sebuah bentuk kemarahan. Sebuah simbol sakit hati dan kesedihan. If we take a look at the love pattern, pertengkaran ini bisa menjadi penguat antara kedamaian dan kasih sayang mereka. Terlebih ternyata kedua anak ini masih satu hubungan keluarga. Sorot kemarahan dan kebencian yang ada terhapuskan dengan air mata yang mengalir dari mata mereka.
Tidak, mereka bukanlah orang yang akan tumbuh menjadi sosok yang lepas kendali dan menyesali apa yang terjadi. Tangis adalah bukti masih adanya kasih sayang dalam hati.
Jadi, jika hal seperti ini terjadi lagi, saya akan menggunakan the love pattern; fight, cry, then kiss and make out. Membuat kemarahan itu menjadi sebuah perekat akan hubungan kasih sayang mereka juga memunculkan kesadaran akan rasa sakit dan saling mengasihi. Cinta itu universal bukan...
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda