Melepas Kepergian Firman dan Idung

Nisa Rachmatika 14 Desember 2010
Aku tahu bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tak akan dapat kupahami, hal-hal yang tak akan pernah benar-benar kumengerti. Aku hanya tak menyadari bahwa hal-hal tersebut eksis, hingga mendadak aku berada di sini dan bertebaranlah banyak hal yang kuharap dapat kupahami (kata Pam). Pak Hikmat (salah satu orang dari Indonesia Mengajar) pernah berkata bahwa satu-satunya hiburan ketika kita memasuki daerah terpencil ialah bersosialisasi. Ketika awal masuk ke desa, saya belum mempercayai hal itu. Saya lebih suka menonton film di komputer, menulis, atau membaca buku, ketimbang mengobol seharian suntuk bersama bapak-bapak dan ibu-ibu di depan rumah. Hingga kemudian saya bertemu teman-teman yang merubah pandangan saya. Di desa Ulidang, saya tinggal bersama kepala desa dan istrinya. Jika rumah pak desa adalah rumah kedua saya, maka saya juga punya rumah ketiga, yaitu di rumah Marma, salah satu kawan baru saya di Majene. Marma adalah seorang janda yang tinggal sendirian. Di rumahnya biasa berkumpul saya, Juli (Juli adalah salah satu guru SDN 30 Ulidang, sama seperti saya), Reski (Reski adalah adik dari Juli, ia masih duduk di bangku SMA), Firman, dan Idung. Setiap seminggu sekali, bergabung pula Ichang. Ichang adalah seorang perawat yang bertugas di rumah sakit di daerah Mamuju. Di rumah yang nyaris tidak ada orangtua itu, kami biasa melakukan banyak aktivitas bersama. Dari mulai sekedar mengobrol, makan, minum, bahkan terkadang tidur satu rumah. Saya, Juli, dan Marma tidur di kamar; Firman, Idung, dan Reski tidur di ruang tengah atau ruang tamu. Beberapa hari sekali, pada malam hari kami naik ke bukit untuk mencari sinyal telepon. Yang menelepon mungkin hanya beberapa orang. Tetapi semuanya ikut hanya untuk menikmati suasana malam. Di bukit tersebut kami biasa membuat api unggun. Jika sedang ada yang menelepon, semua orang meminta supaya suara teleponnya dibuat loudspeaker. Walhasil kami semua mendengarkan, dan terkadang tertawa terbahak-bahak kalau isi pembicaraannya sudah mulai gombal. Kalau sedang ingin iseng, kami juga sengaja membawa tikar, kue, dan mie instant. Saat-saat diam di bukit pada malam hari adalah moment yang paling saya suka. Saya biasa tinggal sampai jam 11 malam di sini. Pernah pada suatu malam, banyak bintang sedang bersinar. Saat itu Firman sedang berbaring di tengah jalan. Saya ikut tidur di sampingnya. Kemudian Juli menyusul berbaring di samping saya. “Nis, kenapa ada bintang yang besar, ada bintang yang kecil?” tanya Firman sambil melihat ke langit. Saya tertawa mendengar pertanyaan tiba-tibanya. Malam itu kami mengobrol banyak: dari mulai soal astronomi, tata surya, kapal terbang, sampai pertanyaan-pertanyaan ‘aneh’ dari Firman macam: “Kenapa kalau air di laut bisa kencang sekali, sampai dia bisa buat ombak, tapi kenapa air di kolamku tidak bisa?” Dan lagi-lagi saya hanya bisa tertawa mendengar pertanyaannya. Saya lalu bertanya mengenai kehidupan Firman lebih jauh, sebab selama ini saya hanya tahu bahwa ia adalah seorang buruh bangunan. Umur Firman ternyata hanya dua tahun di atas umur saya. Dan dalam umur yang masih muda tersebut, Firman sudah sering merantau menjadi buruh di berbagai daerah, terutama di daerah Kalimantan dan Malaysia. Kalau tidak menjadi buruh bangunan, ia menjadi buruh perkebunan. Hanya pekerjaan itulah yang ia bisa. “Kalau yang susah-susahnya lebih baik gak usah diceritakan ya…” kata Firman. Firman juga menceritakan keinginannya untuk merantau lagi ke Balikpapan. Hal ini memang sudah pernah ia bicarakan sebelumnya, tetapi tiap kali saya bertanya kapan, ia selalu menjawab, “Tidak tahu. Aku ndak suka buat target kapan harus berangkat. Kalau mau berangkat ya berangkat saja…” Pembicaraan kami terhenti ketika ada dua orang yang hendak melintasi jalanan. Kami semua lantas berdiri. Saya agak kaget karena yang melintas adalah seorang kakek dan nenek dengan memikul setumpuk bambu di pundak mereka. Dan saya lebih kaget karena Firman bilang, kedua orang tersebut sudah memanggul bambu tersebut sejak dari jalan poros, dan akan dibawa untuk membangun rumah di dusun Awo. Saya tidak pernah bisa mengerti dengan kejadian-kejadian macam yang baru saya lihat barusan. Saat itu saya hanya bisa berkata pada Firman, “Man, aku selalu hormat sama orang-orang seperti kalian…” ***** Hari ini saya tidak mengajar, sebab harus mengurusi beberapa surat di Majene. Saat sedang berjalan kaki, saya melihat Firman. Tidak seperti biasanya, Firman berkendaraan dengan memakai atribut lengkap. Namun saat itu saya tidak terlalu memperhatikan karena saya sedang mencari Juli. Ternyata Juli ada di rumah Sumi, dan ternyata pula, di rumah tersebut sudah ada Firman. Saya lalu tanya mau kemana dia. “Ke Balikpapan,” jawabnya singkat. Terus terang saya kaget. Antara tidak percaya, dan tidak mau percaya. Saya tanya kenapa mendadak sekali. “Ya habis bagaimana, kalau di sini terus susah makan..” Saya tahu Firman tidak menjawab terus terang. Sebab semakin lama mengenal kawan-kawan baru saya ini, saya semakin yakin bahwa tidak ada yang bisa membuat mereka lebih menderita ketimbang jauh dari orang yang mereka sayang. Asal bersama-sama, hidup miskin pun tidak apa. Dan orang-orang yang mereka sayang, jelas ada di desa ini. Dan saya tahu bagaimana beratnya Firman untuk pergi, karena bahkan untuk berpamitan dengan orang tuanya pun ia tidak mau. Juga Idung, yang tidak mau berpamitan dengan pacarnya. Apalagi Juli kemudian bercerita bahwa Firman dan Idung pergi karena mereka malu sudah terlibat perkelahian dengan pemuda desa lain saat Iedul Adha lalu. Ah, kalian… Saya, Firman, Idung, dan Juli kemudian turun ke jalan poros. Saya dibonceng Firman, Juli dibonceng Idung. Firman sepertinya menyadari perubahan sikap saya yang tiba-tiba diam. Dia lalu bertanya, “Kalau aku pergi, kamu sedih?” “Iya lah…pasti. Itu gak usah ditanya Man..” kata saya. Ya, kehilangan seorang teman yang baik memang menyedihkan bukan? Tetapi setelah mendengar pertanyaan saya, giliran Firman yang tertawa. Dia bilang bahkan kalaupun ada keluarganya yang meninggal, dia mungkin tidak akan menangis. Dan dalam perjalanan singkat itu, saya hanya meminta Firman untuk cepat pulang. Tetapi dia tidak bisa memastikan kapan bisa kembali. Akhirnya pagi itu saya melepas kepergian mereka. Saya berjanji kalau mereka tidak cepat pulang, maka pada liburan sekolah saya dan Juli yang akan mengunjungi mereka di Balikpapan. Bersama Firman sesaat sebelum berangkat ke Balikpapan...

Cerita Lainnya

Lihat Semua