Tourist Day in Labuan Kananga!

morinta Rosandini 13 Maret 2013

“My name is Tiara”

Suara Tiara kecil lantang menjawab pertanyaan dari tamu kebesaran hari ini di Desa Labuan Kananga. Dilanjutkan dengan suara-suara kecil lainnya yang tanggap menjawab pertanyaan yang sama. Tiara dan suara-suara kecil itu adalah murid-murid ku di sekolah. Mereka berebut untuk bertemu dan berbincang dengan tamu kebesaran kami hari ini. Tamu kali ini bukanlah sembarang tamu, mereka datang khusus ke desa kami untuk melihat kebudayaan desa, keindahan alamnya, dan berinteraksi dengan masyarakat.

Desa Labuan Kananga merupakan pusat ‘kota’ kecamatan, disinilah pusat pemerintahan kecamatan Tambora berada. Desa yang cukup ramai padat oleh penduduk mayoritas bersuku Bima, 80% warganya adalah dou mbojo atau orang Bima asli, namun ada pula suku Sasak dan suku Bali yang hidup di dusun tersendiri. Desa ini memiliki potensi alam yang kaya, penduduknya hidup dengan berladang, beternak dan pergi melaut. Jika memandang ke arah timur maka akan terlihat hamparan ladang hijau di kaki gunung Tambora, dan ketika kita menolehkan pandangan ke arah barat, mata ini akan dimanjakan dengan kilauan laut biru di pesisir pantai laut Flores. Jika kita memandang lebih jauh menuju laut Flores maka pandangan akan tertuju pada sebuah pulau kecil di seberang, pulau Satonda namanya. Pulau Satonda memiliki daya tarik wisata yang luar biasa, kesitimewaan Satonda terletak pada pasir putihnya, terumbu karang, hewan laut yang didup di dalamnya, serta danau asin yang terletak di tengah-tengah pulau tersebut. Danau asin yang memiliki nilai historis yang berhubungan dengan meletusnya gunung Tambora di tahun 1815. Sehingga banyak turis asing maupun domestik yang datang berkunjung ke pulau Satonda. Lengkap sudah potensi yang dimiliki oleh desa kami, desa Labuan Kananga. Tempat melabuhkan seribu kenangan.

Hari ini di desa Labuan Kananga menjadi hari yang spesial dengan kedatangan tamu kebesaran kami, mereka berjumlah puluhan, mungkin ada 40 orang, semua berasal dari Amerika. Hari ini pun menjadi hari bersejarah bagi anak-anak muridku, inilah kali pertama nya mereka tampil menari mempersembahkan tarian budaya Bima di depan khalayak ramai, di depan orang tua, guru-guru, masyarakat desa dan tentunya di depan tamu besar kami. Ya, inilah kali pertama mereka menari tarian budaya mereka sendiri. Mereka terlihat sangat cantik dan menggemaskan, dengan menggunakan baju adat Bima, pinjaman dari seorang warga desa, serta hiasan kepala yang semalam tadi kami buat dari kertas emas, dan balutan tembe nggoli (kain sarung tradisional Bima), yang mereka pinjam dari ibu atau nenek mereka. Mereka cantik seperti bidadari desa. Mereka adalah anak-anak desa Labuan Kananga yang tak habis membuatku kagum dan bangga pada mereka.

Perjalanan mereka menarikan tarian budaya Bima di depan turis, berawal dari satu bulan yang lalu. Ketika itu kakak angkat ku, ka Sri, bercerita tentang rencana kedatangan tamu dari luar negeri ke desa kami. Kak Sri sebagai bagian dari panitia meminta kerjasama dengan ku agar anak-anak sekolah dapat ikut andil dalam perhelatan besar tersebut, menarikan tarian Bima. Dengan penuh semangat aku menyambut niat baik tersebut, kupikir ini adalah kesempatan bagi mereka untuk dapat belajar tampil berani di depan banyak orang dengan menampilkan budaya mereka sendiri.

Teringat ketika pertama aku mendaratkan kaki di desa ini, anak-anak Labuan Kananga, lebih banyak mengenal tarian modern orang dewasa ketimbang budaya asli mereka sendiri. Mereka terkadang menyemarakkan panggung-panggung orang kawinan, menarikan lagu “tujuh dara” yang saat ini sangat terkenal di televisi. Aku yakin mereka menarikan itu bukanlah karena mereka tidak mau menari daerah, mereka banyak dapat pengaruh dari televisi, dan hanya belum dikenalkan lebih jauh terhadap budaya asli mereka.

Pada awalnya ada sebuah kepesimisan dalam diriku akan kemampuan anak-anakku dalam menari, apa mungkin mereka dapat berlatih sebuah tarian dalam jangka waktu yang begitu pendek. Namun saat itu aku hanya bisa percaya pada Allah dan pada kemampuan anak-anakku sendiri. Sebulan berlalu bergitu cepat, karena kesibukkan di sekolah dan keperluan di kota, aku baru bisa melatih anak-anak ku dua minggu sebelum hari penampilan. Aku latih mereka sepulang sekolah, satu jam hingga dua jam, aku latih setelah les sains selesai, karena dalam waktu dekat akan ada pula olimpiade sains kuark di desa kami. Beberapa anak yang ikut dalam kelompok menari ada pula yang ikut mengikuti les sains tersebut, sehingga secara non-stop mereka berada di sekolah untuk belajar bersama.

Dengan bermodalkan sebuah video berdurasi 10 menit yang ku unduh dari sebuah situs dan dengan kemampuan menariku yang pas-pas-an, yang kupadat semasa sekolah dulu, aku mulai melatih anak-anakku menarikan sebuah tarian berjudul Wura Bongi Monca. Wura yang berarti menebar, Bongi yang berarti beras, dan Monca yang berarti kuning. Makna dari tarian ini adalah prosesi penyambutan tamu-tamu kerajaan Bima yang datang ke kerajaan kemudian disambut dengan dara-dara ayu dan menebarkan beras kuning sebagai tanda kehormatan bagi tamu. Kupikir tarian ini cocok sekali bila ditarikan nanti saat menyambut tamu kami.

Melatih tarian yang belum ku kuasi dengan penuh, membuat tekanan yang cukup, dengan segala keterbatasan aku mengajari mereka. Lama-Otakku mulai berputar kencang, mencari celah dan seberkas sinar pemecahan masalah. Aku sadar ketika hal ini dikerjakan sendiri hanya akan menjadi awal dari kehancuran, maka aku untuk menjadikan ini masalah bersama, karena ini semata-mata bukan untukku tapi dari, oleh dan untuk desa Labuan Kananga. Pelan-pelan aku mencari “teman” yang bisa aku “jerumuskan” kedalam lingkaran kebahagiaan ini. Singkat cerita aku berhasil menggaet dua orang yang dapat membantuku untuk mensukseskan acara nanti. Merekalah; mama Dara, seorang wali murid yang sering melatih anak-anak untuk belajar qasidah dan sholawat, serta ibu Yuni, seorang guru muda yang begitu openminded serta enerjik dari SD tempat aku mengajar. Selama satu minggu penuh kami bekolaborasi melatih anak-anak untuk menari.

Kepesimisan ku diawal tidak terbukti, anak-anak dengan sangat sigap menerima dan mencerna setiap gerakan-gerakan yang ku ajarkan dengan cukup baik. Semangat belajar mereka luar biasa, tak lelah mereka meminta untuk terus berlatih sore hingga malam hari. Ketakjuban ku akan kemampuan belajar mereka dijawab oleh mama Dara. Mama Dara berkata bahwa percepatan belajar mereka dalam segi gerak memang luar biasa. Aku percaya penuh semenjak itu bahwa anak-anakku memiliki kemampuan motorik yang sangat baik.

Hari pementasan pun akhirnya tiba, anak-anak sudah siap semenjak gema adzan subuh berkumandang, mereka bersemangat menyambut hari ini, hari pementasan perdana mereka. Mama Dara dan ibu Yuni sibuk menandani mereka semenjak pagi, dan akhirnya delapan dara ayu dari SDN 1 Labuan Kananga sudah siap untuk mempersembahkan tarian penyambutan tamu di pantai desa. Dengan menumpang motor guru dan orang tua murid, anak-anak dibawa menuju pantai. Kedatangan mereka disambut manis oleh para tamu asing hingga warga desa yang menyaksikan. Musik pun mulai diputar, anak-anakku mulai beraksi, dengan senyuman, lenggak-lenggok, putaran dan lambaian tangan, mereka menarikan semua gerakan yang sudah mereka kuasai. Di kursi tamu kulihat mata para turis tak lepas dari pandangan anak-anakku, dengan kamera mereka tak segan-segan menangkap aksi mereka. Perasaan ini berputar-putar tak karuan, kali ini perasaan bangga yang muncul.

Selesai penampilan, para turis asing berebut untuk berfoto dengan mereka, beberapa berusaha berbicara dengan para penari kecil itu. Beruntungnya mereka sudah paham sedikit banyak tentang percakapan dasar bahasa Inggris, berkat jasa Ibu Ririn juga, guru pengajar muda pertama di desa ini. Kemampuan mereka berbahasa Inggis membuat para turis semakin senang bersama dengan mereka. Tak disangka pula, respon warga desa ternyata luar biasa, mereka takjub dan tidak menyangka bahwa anak-anak mereka sendiri bisa berlenggak-lenggok manis di depan para turis asing, sebuah pementasan yang baru kali ini mereka saksikan. Disana hadir juga guru-guru dan kepala sekolah kami, memberikan penghargaan berupa kedatangan mereka.

Kupandangi mama Dara dan Ibu Yuni, gurat kebahagiaan dalam wajah mereka sudah tidak dapat disembunyikan lagi, dari senyum mereka, aku tahu bahwa mereka bangga dengan anak-anak mereka, anak-anak cerdas dari Labuan Kananga. Kusadari tanpa kehadiran mama Dara dan ibu Yuni, semua ini tidak akan berjalan lancar. Semoga semangat mereka terus menular kepada warga desa yang lainnya. Karena bagi anak-anak, hari ini telah menjadi awal dari lahirnya semangat mengenal budaya asli yang mereka punya sendiri. Budaya Bima. Budaya yang membersarkan mereka. Karena di sinilah mereka tinggal, menuntut ilmu dan di sini pulalah mereka akan membangun masa depan desa mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua