Politik Pastori
Marthella Rivera Roidatua 5 Oktober 2013
Mendengar kata politik, yang terlintas di pikiran kita adalah kekuasaan. Bahkan sebagian orang mungkin sudah amat skeptis dengan politik. Tapi melihat judul tulisan saya, hati-hati salah menafsirkan. Ini bukan politik jenis baru yang saya bangun selama tiga bulan lebih di penempatan. Namun, tidak saya pungkiri, frasa baru ini timbul memang sesuai dengan kondisinya saat itu. Di mana mungkin sebagian masyarakat disibukkan dengan upacara Hari Kesaktian Pancasila, tetapi 1 Oktober menorehkan kesan berbeda di Kecamatan Molu Maru. Sekitar jam 12 siang, ada dua speed boat yang membawa rombongan pejabat terkait dengan pengontrolan persiapan Pesparawi. Kami patut bersyukur karena dengan rekam jejak masa lalu dan stigma ‘di-Momar-kan’ yang belum sepenuhnya luntur, jangankan pejabat bahkan pegawai pun enggan untuk datang ke sini. Padahal, kecamatan ‘premature’ ini sudah amat layak keluar dari ‘inkubator’nya. Hal ini juga diakui oleh para pejabat yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Molu Maru.
“Awalnya saya pikir ini kecamatan bagaimana sekali, tapi pas sandar di pantai, saya lihat ini desa kecil tapi rapih.”
“Saya sudah lama ingin berkunjung kemari, tapi baru sempat sekarang dan ternyata meskipun baru mekar, ada perkembangan yang sangat pesat baik dari pembangunan infrastruktur maupun orang-orangnya.”
“Saya rasa kalau Ibu Thella yang dari Jawa saja sudah rasa betah di sini, bisa jadi indikator bahwa daerah ini cukup nyaman dan baik toh?”
Saya tidak akan bercerita banyak tentang kecamatan ini, karena ajang promosi pariwisata sudah berlangsung di akun Facebook. Cerita saya kali ini diawali dengan sebuah kalimat yang tak terpatahkan (mungkin), “Kadang kala kita mesti berbohong demi kebaikan”. Sering terlintas di pikiran saya bahwa hidup ini menawarkan banyak pilihan sulit di tengah kesulitannya sendiri. Bagaimana tidak, mau jadi orang jujur yang sudah tentu baik saja, kadang masih salah. Ini yang saya alami saat rumah saya menjadi tempat bermalam bagi tiga pejabat daerah. Namun, dari awal saya katakan bahwa tulisan ini bukan berisi aduan ataupun pencitraan pejabat terkait. Sama sekali tidak. Saya hanya berusaha belajar dari setiap hal yang saya alami, baik atau buruk. Dan saya rasa pengalaman itu patut dibagi, mungkin saja bermanfaat bagi orang lain, siapa tahu.
Malam itu beliau memanggil sekitar sembilan orang laki-laki ke pastori untuk membicarakan pembentukan dewan pengurus ranting di desa Adodo Molu. Jujur ‘gerah’ rasanya ketika pastori yang seharusnya menjadi tempat diskusi persiapan Pesparawi, malah dijadikan sebagai tempat konsolidasi salah satu partai. Tapi apa mau dikata, budaya malu hati di desa ini terlalu tinggi. Sehingga bapa piara saya, yang padahal menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kecamatan saja hanya berani menggumam di dapur. Padahal kalau dipikir-pikir, kampanye terselubung di masa kunjungan kerja seperti ini kan sudah termasuk pelanggaran. Saya juga tidak punya pilihan lain saat itu selain membantu mama piara menyeduh kopi untuk para pejuang dan bakal calon pejuang ‘wong cilik’, katanya. Sesekali mendengar beliau promosi ala khotbah kepada sembilan orang laki-laki, “Partai ini kan juga merupakan bentuk kesaksian, jadi harus setia jangan mudah berpindah hanya karena tawaran sesaat dari partai lain. Nanti Tuhan marah toh.” Terlintas di pikiran saya, konsep politik sederhana tapi selalu jadi acuan jitu bagi kami saat kuliah, ‘Politic is who gets what, when, and how”. Sudah sering saya dengar selentingan bahwa banyak politisi yang melakukan pendekatan religi, terlepas dari konteks agamanya apa, untuk menarik massa. Tapi malam ini mungkin contoh nyata. Saat saya mengantarkan kopi ke ruang tengah, salah satu dari beliau yang jadi caleg bersengaja, “Ibu ini juga kader partai katong, bapa-bapa!” sambil tertawa. Setelah semua orang pulang, barulah bapa ini meminta maaf pada saya soal kelakarnya tadi. Saya pun membalas, “Kalau berita beta jadi kader partai sampai di telinga Indonesia Mengajar di Jakarta bapa, berarti nanti beta su tahu sebut nama sapa yang biking isu e bapa.” Beliau tertawa, tapi dalam hati saya: ini serius.
Obrolan kami mengalir dari perkenalan diri masing-masing, background pendidikan, hingga pekerjaan. Beliau menanyakan tentang pekerjaan saya sebelum memutuskan untuk mengabdikan diri melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Mungkin saya terlalu polos atau mulut ini yang tidak bisa diajak ‘kompromi’, spontan saya menjawab bahwa hampir setahun saya bekerja sebagai junior analyst di lembaga penelitian independen di Jakarta. Saat itu juga saya tersentak bahwa beliau adalah orang yang dibesarkan oleh partai senior dan rekan beliau yang satunya adalah caleg. Ternyata beliau pernah membaca klipingan analisis yang memuat nama kantor saya dan beliau cukup tahu bagaimana ‘pisau’ yang kami gunakan untuk membedah sebuah isu politis yang sedang ramai dibicarakan.
“Nona manis, saya cukup salut dengan nona yang berani ambil keputusan untuk keluar dari pekerjaan di kota yang gajinya mungkinlebih tinggi dan hidupnya di sana pasti lebih enak daripada di tempat terpencil begini.”
Kira-kira begitu bunyi kalimat pertama yang terlontar saat beliau mengetahui pekerjaan saya terdahulu. Entah ini sudah termasuk amunisi pertama atau memang respon dari hati. Tapi pengalaman hampir setahun bekerja terdahulu menyisakan banyak ilmu berharga. Saya sudah dapat menebak arah obrolan ini kemana dan terbukti sudah. Bukan namanya politisi kalau tidak pandai berpolitik, yang dalam arti sederhana memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya. Mulai dari cara memuji, mengajak diskusi, hingga berujung kepada sebuah tembakan pertanyaan:
“Jadi, bisa ka seng kalau bapa minta tolong nona untuk analisis katong pu caleg yang potensial, lalu bagaimana nona susun strategi untuk memenangkan pileg ini. Bisa toh? Katong salaman dolo.”
Sekitar tiga kali pertanyaan itu ditembakkan ke arah saya, tapi tiga kali pula saya menolaknya dengan berusaha tidak menyinggung. “Mohon maaf bapa, beta setahun disini sudah komitmen untuk mencurahkan segala energi demi membangun pendidikan, fokus dan selalu bersikap netral. Kalau soal pendidikan apapun itu katong usahakan bapa, tapi menyangkut politik maaf bukan Indonesia Mengajar pu ranah”.
“Lho, memangnya beta akan lapor ke Indonesia Mengajar? Kita lakukan secara tertutup saja toh, nona ini cerdas dan saya yakin pasti analisisnya sangat membantu kesuksesan partai ini. Secara tidak langsung kan juga membantu orang-orang kecil yang katong perjuangkan, ka bagaimana? Seng usah panggil bapa, panggil bu saja, besok pagi langsung kasih lihat nona pu tulisan tentang strategi pemenangan pileg ini.”
“Sekali lai beta mohon maaf bapa, jawaban beta masih sama: seng bisa.”
“Wah, nona ini idealis juga e. Kalo punya ilmu itu harus dibagi toh, Tuhan saja bilang kalau kita harus membantu orang yang butuh toh? Lai jang anti politik, karena politik itu bagus. Pernah baca buku ‘Politik itu Suci’ dan ‘Manifesto Politik’ ka?”
“Iyo, pernah baca bapa. Beta jua seng bilang kalo politik itu jelek, lai politik itu ibarat sopi toh. Masalahnya ada di orang-orangnya kalau konsumsi itu barang berlebihan. Beta bukan seng mo bagi ilmu, tapi setahun ini bukan waktunya bapa. Meskipun seng ada yang lihat, tapi ada satu pribadi yang selalu lihat toh?”
“Nona ini jua kuat e, seng mudah diintervensi. Barang bapa Anies ada jadi capres e? Tapi sayang kenapa harus pilih partai yang banyak masalah begitu?”
“Sikap beta untuk seng terlibat politik bukan karena keberpihakan pada satu partai. Bahkan Bapa Anies keluar dari IM ini jua par jaga kenetralan gerakan, antua seng pernah perintahkan katong par jadi loyalis. Kalau banyak yang pikir gampang bahwa IM ini jadi motor itu resiko yang sudah pasti antua tanggung, tapi pembuktiannya bisa dilihat dari kinerja katong yang tetap pada porosnya.”
“Memang orang macam nona ini yang katong butuh di MTB ini, bagaimana kalau perpanjang masa tugas sa? Nanti saya bicarakan dengan Bupati supaya keluarkan SK dan bicara deng orang tua, toh”
“Beta baru tiga bulan di sini, belum bisa jawab tawaran dan memang belum ada pemikiran ke sana.”
Tensi pembicaraan saya turunkan dengan cara mengalihkannya ke topik bola dan hal-hal ringan mengundang tawa. Tapi rupanya hal ini disadari oleh beliau, hanya mungkin sudah letih menawarkan dan jawabannya tetap ‘seng’ sehingga obrolan ditutup tepat jam setengah dua subuh. Kami juga harus beristirahat karena pagi ada acara peresmian kantor camat. Berhubung kamar di pastori hanya tiga, jadilah aku tidur berdua dengan salah satu ibu yang bertugas sebagai protokoler dan dua dari beliau lebih memilih tidur di ruang tamu pastori dengan spring bed yang ada. Sementara kamar tamu hanya dipakai oleh satu orang pejabat yang sudah tidur lebih dulu dari kami dan satu kamar lagi dipakai oleh bapa, mama, dan kedua adik piaraku. Yah, namanya juga pejabat turun ke desa jadi harus memaklumi segala keterbatasan yang ada dan sebaiknya hidup merakyat.
Paginya saya bangun tempo mengingat kami hanya punya satu kamar mandi di luar rumah induk, sedangkan yang antri mandi ada sekitar sembilan orang penghuni pastori. Salah seorang dari beliau yang sedari malam menanyakan beras merah untuk makan pun kami suguhi dengan pisang goreng dan bubur di pagi hari. Sekelebat tudingan beliau semalam soal politik pencitraan partai lain seolah terkoneksi dengan banyaknya prasyarat makan yang beliau mintakan. Bukankah untuk mengambil hati rakyat harus berusaha hidup seperti apa adanya rakyat? Ah, tapi yang namanya pejabat, meskipun dahulunya berasal dari desa, kalau sudah terbiasa hidup enak pasti canggung untuk kembali ke asal. Selesai sarapan dan mandi, kami bersiap untuk jalan mendaki ke kantor camat mengikuti acara peresmian sekaligus makan bersama seluruh pegawai sebelum rombongan pejabat pergi meninggalkan desa. Saya yang beralih tugas dadakan menjadi staf gadungan kecamatan pun membantu Ibu Camat dalam menghidangkan makanan kepada para tamu penting kami. Lagi-lagi pertanyaan soal beras merah beliau tanyakan dan saya menjawab, “Bapa nanti mo naik speed dan langsung sambung kegiatan di Wunlah toh? Jadi seng apa-apa makan nasi putih supaya tenaga banyak.” Sepulang dari kantor camat, kami jalan turun bersama dan beliau ternyata orang yang cukup gigih untuk kesekian kalinya merayu saya membantu progres politik partainya. Tidak bermaksud sombong, tapi bukan namanya orang Batak dan semasa kuliah juara debat, kalau tidak bisa menangkis serangan. Sampai terakhir beliau meminta kontak, saya pun tetap memberikan nomor sekaligus pengertian bahwa komunikasi yang akan terbangun di luar politik.
Selepas mengantarkan rombongan ke pantai hingga speed sudah terlihat jauh, kami pulang dan saya langsung masuk kamar. Saya sempat berdoa agar penolakan semalam tidak menyinggung perasaan beliau dan ruang gerak serta program tim MTB tidak kemudian dipersulit. Sering saya berpikir bahwa privileges yang diberikan Pemda kepada tujuh orang anak muda pengguna rompi, harus ditanggapi dengan bijak. Kebaikan orang lain memang tidak bisa ditolak, tapi kami harus bisa membaca ‘arah’ dan tanggap. Saya tidak menampik bahwa baik dari IM maupun para pejabat itu punya kepentingan terhadap masyarakat di MTB. Namun apakah kepentingan bersama atau pribadi, itu yang patut digarisbawahi. Jangan sampai Pengajar Muda difasilitasi senyaman mungkin untuk kemudian diberdayakan dalam tujuan politis tertentu. Dari dulu pesan mujarab ini selalu saya simpan, ‘Banyak orang baik tapi hanya sedikit orang benar’. Saya pun mengambil handphone dan mengetik pesan kepada teman-teman tim MTB untuk waspada terhadap bulan-bulan rawan menjelang Pileg. Power kami mungkin tidak sebanding dengan pejabat di sini, namun saya pikir kami tetap punya posisi tawar untuk tetap berada di rel yang tepat. Tinggal bagaimana ‘meramu’nya saja.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda