Hukum Diri Sendiri

Marthella Rivera Roidatua 10 September 2013

          Ketika kau sampai di sini, kau akan melihat pemandangan yang lain dari biasanya. Bukan soal panorama alam yang sudah tak diragukan lagi keindahannya, bukan juga soal uniknya kebiasaan menyisir rambut dengan pisau di tempat santai. Pemandangan yang bisa kujamin akan kau temui setiap hari, entah itu di pagi hari, siang, sore atau malam. Percaya padaku, kau bisa temui pemandangan ini di mana pun, baik di sekolah, di depan rumah, bahkan di tengah jalan. Anak kecil tanpa celana, muka berdaki, dan ingus meleleh seperti “Bo” di film Crayon Shinchan? Itu masih dapat dimaklumi. Anak tanggung yang sedang jongkok buang air besar di pasir pantai? Bisa jadi, tapi sekarang sudah jarang. Orang lalu-lalang di malam hari dengan menyetel musik keras di HP? Bukan, bukan itu. Kau mungkin kesal padaku dan bertanya dalam hati, “Kalau begitu apa?” 

          Baru kali ini aku melihat pemandangan orang makan rotan setiap hari. Namun jangan kau bayangkan bahwa rotan ini direbus atau digoreng untuk mengenyangkan perut. Kekerasan di sini ibarat kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi setiap hari. Anak kecil yang ‘disuapi’ rotan oleh orang tuanya, guru terhadap siswanya, anak-anak dengan sesama temannya, bahkan ketika suami-istri bertengkar sambil kejar-kejaran juga membawa rotan. Hari pertama aku mengajar di sekolah, seorang rekan guru berkata, 

“Ibu Thella pu kelas I itu paling biking picah kapala. Kalau seng pake rotan, anak-anak kelabur talalu nanti ibu setenga mati!”.

Aku menjawabnya, “Beta seng tega pukul anak-anak, su janji deng diri sendiri dan anggap sa resiko ajar kelas I memang harus pangkat-pangkat sabarnya toh.”

Sudah begitu pun aku menjelaskan, tetap saja banyak yang gigih menggodaku untuk menggunakan benda yang pastinya akan lebih bagus kalau dibuat kerajinan itu.

          Kadang aku berpikir, ini tahun ketiga Indonesia Mengajar di sini, apakah guru atau masyarakat masih tidak memahami komitmen kami untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mengajar? Kalau berpikir perilaku seperti ini akan sirnah dalam waktu tiga tahun, mungkin terlalu muluk. Terlebih saat aku berkunjung ke rumah beberapa siswa kelas I, semua orang tua memerintahkanku, “Ibu harus kasi keras, dong ini memang kepala batu jadi pukul sa biar tobat!”. Soal anak-anak yang sulit diatur dan senang berkelahi memang tidak dapat kubantah, bahkan kalau boleh jujur aku pernah hampir mencubit salah satu siswaku saking geram karena ulahnya yang suka bikin onar di kelas. Tapi tiba-tiba kalimat ‘guru itu digugu dan ditiru’ yang melintas di pikiran membuatku sadar. Kalau guru saja berhak memukul, pasti anak-anak juga tidak akan merasa berdosa memukul temannya. Namun, dua minggu menerapkan cara lembut, justru aku yang kelelahan menghadapi anak-anak bahkan sempat ingin menangis.

          Sering aku tidur larut hanya untuk merenung kira-kira taktik apa yang membuat anak-anak jera tapi tanpa aku harus memukul mereka. Sekitar jam 2 malam itu, entah berasal dari bisikan mana, ada ide yang muncul untuk menerapkan ‘Hak Menghukum Diri Sendiri’. Kuawali dengan mengajak anak-anak bernyanyi lagu Sekolah Minggu “Hati-hati Gunakan” lalu bertanya kepada mereka untuk apa Tuhan menciptakan tangan, kaki, dan mulut. Kami buat kesepakatan, kalau mulut, tangan, dan kaki tidak digunakan untuk sesuatu yang baik, maka anak-anak harus kasih jera itu anggota tubuh supaya tidak nakal lagi. Misalnya: anak yang membuat temannya menangis berarti harus memukul tangannya sendiri ; anak yang bermaki harus menjentik mulutnya sendiri ; anak yang suka angkat kaki ke meja atau menendang teman harus mencubit kakinya sendiri. Anehnya, anak-anak yang dicap kepala batu ini malah nurut dan sportif untuk menghukum dirinya ketika melakukan kesalahan. Taktik ini tidak langsung menyulap kelas jadi tenang, tapi setidaknya anak-anak lain yang melihat temannya menghukum diri bisa agak enggan untuk coba-coba nakal. Kuterapkan ini dengan harapan mereka sadar bahwa lebih baik tertib daripada malu dilihat teman sekelas dan menyakiti diri sendiri.

          Sepulang mengajar di kelas I, aku biasanya langsung bergegas ke SMP untuk mengajar IPA Terpadu dan Bahasa Inggris kelas IX. Pertemuan perdana kami selain diisi perkenalan juga menyepakati kontrak belajar. Muncullah lima poin yang ke depannya akan menjadi komitmen kami bersama, bukan cuma siswaku tapi juga berlaku untukku sebagai guru mereka.

“Yang harus disiplin itu samua, seng cuma guru biking aturan lalu kamong sa yang taat. Ibu su bilang toh, ini kontrak belajar par katong. Jadi contohnya kalau Ibu terlambat masuk kelas, harus berani ingatkan Ibu untuk merapikan kamong pu kelas ini sepulang sekolah. Su dengar?”

Bukannya menjawab, siswaku malah saling lihat-lihatan dan berbisik, mereka terlihat bingung dengan cara mengajar Ibu Guru yang satu ini. Lalu kutantang mereka untuk berani menawar apa sanksinya jika ada siswa yang tidak mengerjakan tugas. “Pukul deng rotan! – Pompa! – Lari keliling lapangan! – Cambuk!”, tawaran terakhir menyentakku.

“Ampun e, Tuhan Yesus sa kalau boleh pilih seng mo dicambuk waktu itu. La kamong mo rasa dicambuk bagaimana? Ibu su bilang kalau biking sanksi itu yang bikin tobat tapi tetap mendidik, lai Ibu seng mo pake kekerasan. Di rumah su dapat, di sekolah dapat, nanti deng temang baku pukul lai, kamong kira Tuhan ciptakan manusia hidup untuk dipukul sa?” Mereka diam.

        Sudah dari tahun kapan menghukum dengan kekerasan ini dilakukan, tapi nyatanya masih saja kesalahan terulang. Berarti bukannya membuat jera, justru makin sering dipukul mereka makin kebal. Anggap saja kalau lagi malas bikin tugas, tinggal merelakan badan sakit sedikit karena kena rotan. Aku menawarkan kepada mereka untuk menuliskan ‘Saya berjanji akan mengerjakan tugas dengan serius’ sebanyak 100x sebagai sanksi. Seketika kelas gaduh, ada celetukan ‘Ubi la’a, tangan putus sudah’. Tapi setelah aku menjelaskan unsur mendidik dari hukuman tersebut, mereka akhirnya sepakat. Lusa, sengaja aku terlambat lima menit untuk melihat apakah mereka mulai berani mengingatkan orang lain yang melanggar komitmen, sekalipun itu guru. Sekalian aku ingin membuktikan bahwa kedisiplinan itu datangnya harus dari diri sendiri bukan karena dipaksa. Saat aku masuk kelas, beberapa siswa mulai berbisik sampai akhirnya aku bertanya dan ada satu orang yang menjadi jubir mengingatkan kalau aku terlambat. Pulang sekolah, aku tidak mengizinkan mereka menghapus papan dan memungut sampah di bawah meja, aku mempersilahkan mereka keluar kelas lalu aku mulai merapikan kelas. Tiba-tiba kepala sekolah yang dari luar kelas melihatku sibuk berbenah, memarahi anak kelas IX dan menyuruh mereka kembali ke kelas. “Kamong pu otak dimana ka, buta ka, biarkan Ibu Thella bersihkan kelas macam ini. Nona stop sudah, anak-anak ini terlalu lai. Lain kali awas e!” Segera aku menimpali, “Anak-anak seng salah bapa, tadi bet terlambat dan katong su sepakat deng sanksinya. Disiplin berlaku par samua toh, seng cuma par anak-anak sa”, sambil aku memberikan kode kepada anak-anak untuk tidak ambil pusing dengan perkataan Kepsek tadi. Setelah Kepsek keluar kelas, raut muka anak-anak langsung sumringah sambil beberapa berkata “Aheey...memang Ibu Thella e!”

 

Batak = banyak taktik, mungkin ada benarnya. Dan memang harus putar otak untuk menghadapi anak-anak yang dibesarkan dengan kultur kekerasan seperti di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua