Jadi Guru itu Lucu

Maman Dwi Cahyo 12 Desember 2012

Saya heran, mengapa lulusan-lulusan sarjana di Indonesia tidak berbondong-bondong untuk menjadi guru dan memilih untuk berburu kerja di perusahaan-perusahaan yang menyita waktu mereka seharian bahkan banyak yang kerja sampai malam hari sehingga waktu untuk diri sendiri, keluarga, maupun sosialisasi dengan teman menjadi sangat kurang. (Saya kadang juga berpikir demikian, itulah mengapa saya heran). Padahal menjadi guru sangat menantang dan banyak hal-hal menarik yang bisa didapatkan setiap harinya. Banyak juga hal-hal lucu yang tercipta dari kepolosan anak-anak murid yang membuat saya tertawa dan sering juga membuat saya tersentuh. Pada tulisan ini saya akan menceritakan tentang kejadian-kejadian lucu selama saya di daerah penempatan.

Musim di Indonesia

Setelah kunjungan Zane sekeluarga dari Amerika, anak-anak murid saya antusias dengan musim salju yang dimiliki negara empat musim tersebut. Di kesempatan itu, saya memasukkan pengetahuan umum tentang Indonesia, letak Indonesia di peta dunia, serta pulau-pulau yang menyusun Indonesia menjadi satu. Tibalah pada sebuah pertanyaan yang saya ajukan tentang musim-musim di Indonesia.

Saya : "Nah, Indonesia berbeda dengan Amerika, kalau di Amerika ada 4 musim, di Indonesia memiliki 2 musim. Musim apa saja?"

Murid: "Musim Barat dan Musim Timuuur!"

Mereka menjawab sontak bersamaan. Belum lagi ada yang menjawab musim Mangga, musim Durian, dsb. Saya speechless sesaat, bingung mau berekspresi seperti apa. Antara menahan tawa karena kepolosan jawaban mereka dan membenarkan jawaban mereka. Memang, musim di pulau kecil seperti Tarak sangat dipengaruhi adanya angin Timur dan angin Barat yang bergantian datang dalam setahun, apalagi pengaruhnya bagi kehidupan nelayan. Itulah yang anak-anak saya ketahui secara nyata. Saking polosnya, anak-anak belajar dari kenyataan yang mereka lihat sehari-hari. Akhirnya kuberikan penjelasan lagi mengenai musim-musim yang ada di Indonesia dan juga pengaruhnya di pulau Tarak.

Arah Mata Angin

Masih terkait dengan pengetahuan umum tentang Indonesia, suatu pagi anak-anak kelas 5 dan 6 sangat antusias berebut menuliskan hasil pekerjaan rumahnya di papan tulis. Beberapa anak spontan langsung maju dan menuliskan jawaban mereka di papan tulis. Setelah semua selesai menulis di papan, saya maju untuk membahas satu per satu hasil pekerjaan rumah yang mereka kerjakan. Saat saya lihat papan tulis, saya bingung di mana letak nomor 1 hingga nomor 10. Saking semangatnya, mereka menulis bersamaan secara acak. Ada yang di sudut, ada yang di atas, ada yang di bawah, ada juga yang melintas di tengah-tengahnya. Karena bingung, saya pun tanya kepada mereka.

Saya: "Nomor satu di mana?"

Murid: "Itu Pak Guru, di darat-di darat!"

Saya pun tambah bingung, di darat itu di mana? Bukannya ini sudah di darat, bukan di air? Otak saya makin kusut. Haha.. Akhirnya saya bertanya lagi.

Saya: "Kalau di sana arah mana?", tanya saya sambil menunjuk arah barat.

Murid: "Daraaaaaaat!", jawab mereka bersamaan.

Saya: "Kalau di sana arah mana?", tanya saya lagi untuk memastikan sambil menunjuk arah timur.

Murid: "Lauuuuuuut!", jawab mereka bersamaan dan lebih kompak.

Dalam hati saya ingin tepok jidat. Ternyata konsep tentang arah mata angin masih asing bagi anak-anak murid saya. Lebih mudah bagi mereka untuk menunjukkan sesuatu dengan berdasarkan arah "darat" dan "laut". Istilah "Darat" apabila berada lebih dekat ke arah bukit/gunung/daratan, dan istilah "Laut" untuk sesuatu yang lebih dekat atau menuju ke arah di mana laut/pantai berada. Dengan konsep darat dan laut, tidak peduli mau pulau tersebut menghadap ke arah mata angin mana, yang penting di mana daratan dan lautan berada, di situlah istilah tersebut muncul. Ada juga istilah "Tanjung", apabila menunjuk arah jauh menuju salah satu tanjung yang ada di pulau tersebut. "Darat", "Laut", dan "Tanjung" istilah baru yang saya pelajari di kampung Tarak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua