info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Guntur

Khaerul Umur 2 Maret 2013

*sigh

Mengawali sebuah pagi dengan menyelinap keluar dari rumah adalah sumber energi bagiku, hari itu. Selama Mamak keluar kota, selama itu juga bapak tidur di depan TV, persis di depan pintu kamarku. Pagi hari ku bangun dan mengendap-endap ke kamar mandi. Yup! Harus mengendap-endap, karena lantai rumah hostfamku dari kayu, salah sedikit menginjak bagian lantai, maka lantai akan berderit dan atau mengguncang bagian lantai lain. Selama empat bulan tinggal di rumah ini, saya sedikit tahu bagian mana dari lantai rumah yang tidak bersuara banyak jika diinjak. Nailed it! *alto voice

Ku dorong motor sampai ke kios yang menjual bensin. Sengaja tidak ku nyalakan di rumah agar drama sneaking out sukses. Setelah ku isi motor dengan bensin seharga dua liter (di pom bensin) padahal di sini cuma dapat satu liter, saya menarik gas sampai ke sekolah. Di sekolah sudah menunggu Raudah dan Guntur yang akan mengikuti OSN tingkat kecamatan. Tanpa ba bi bu banyak mereka langsung ku ajak naik motor bertiga. Lokasi lomba berada di kecamatan yang berjarak kurang-lebih 30 Km. Sesampainya di desa sebelah, Raudah ikut dengan teman saya, Shinta, karena dua orang muridnya sudah di angkut oleh dua orang teman gururunya.

Dan mulailah cerita horor di siang bolong itu terjadi. Di depan sekolah Shinta, ada ibu penjual nasi kuning yang menurut saya kombinasi rasanya lumayan. Jadi, untuk basa basi, saya bilang, “aduh! Padahal saya mau sarapan nasi kuningnya ibu. Enak rasanya!” Grrr... si ibu bilang saya harus ‘nyantap’ kalau sudah bilang begitu. Nyantap adalah mengambil sedikit bagian dari makanan, sekedar makan. Kalau tidak, musibah akan terjadi. Akhirnya si ibu menyendok nasi dan menyodorkannya kepada saya yang masih nangkring di atas motor.

Guntur si anak hutan ini memulai aksinya. Dalam perjalanan dia bilang bahwa kalau di hutan itu jangan sembarangan. Kata Guntur, kalau saya sudah bilang seperti tadi itu memang harus nyantap. Dan aksi Guntur pun berlanjut beberapa saat kemudian saat saya berteriak, “hmm... bau apa ini! Tur Tur! Kamu cium ngga?” Tiba-tiba saya mencium bau rebusan gula merah yang wangi di tengah-tengah jalan semak belukar. Guntur langsung bilang, “Sssst, Pak! Ndak boleh togor-togor begitu kalau di hutan! Nanti celaka! Saya pernah nyium bau jagung bakar di hutan dan saya togor. Terus saya dikejar anjing hitam berkepala tiga. Warna matanya ndak ada yang sama, ada yang biru, merah, sama hijau, Pak!” Tepok tangan buat Guntur. Di pagi hari yang cerah itu, Guntur berhasil membuat bulu ketek saya merinding. Eh, bulu kuduk maksudnya.

Daaan.. kami melanjutkan ngobrol ngalor ngidul sekedar pengalih kejenuhan perjalanan. Belum juga mencapai jalan aspal utama, motor yang kami kendarai bannya bocor. Dalam satu bulan, entah berapa kali motor ini harus ganti ban dan tambal ban. Spontan saya menghentikan speda motor yang lewat. Seorang ibu berseragam PNS memperlambat lajunya dan menanyakan kenapa. Saya meminta ibu PNS itu membawa guntur sampai ada tambal ban, sementara saya menyusul pelan-pelan.

Lega rasanya bertemu dengan tambal ban yang tidak terlalu jauh. Guntur sudah menunggu di sana dengan Raudah dan Shinta, sementara ibu PNS yang baik hati itu sudah tidak ada *jangan-jangan dia malaikat penyelamata ahaha ‘:). Di tengah menunggu ban motor itu, tiba-tiba Guntur menatap saya dan berbisik pelan *dengan wajah mistisnya, “Pak! Pasti ini celaka gara-gara bapak togor bau tadi di jalan.” Saya langsung speachless dan nyengir-ngga-tau-mau-bilang-apa.

Ternyata tambalan terakhir ban itu masih ‘kurang masak’, kata tukang tambal. Makannya bocor lagi. Memang banyak sekali tambalan yang saya lihat. Kemudian saya mengeluarkan ban cadangan di dalam motor yang sebenarnya ban bocor juga, cuma, mungkin lebih baik.

Okeh, kita kembali fokus ke Guntur si pemeran utami. Saya lihat tiba-tiba Guntur berdiri dari tempat duduknya dan menuju samping rumah tambal ban dan menghadap matahari. Dia melirik sejenak ke arah saya yang menangkap mulutnya sedang komat kamit entah merapal mantera atau sedang menghafal rumus matematika. Kemudian dia mengambil tanah dan mengusapkannya ke tangan kanannya. Entah dua atau tiga kali. Setelah itu membasuh tangannya dengan air mineral. Okay, He got my attention!!!

Shinta melihat kedatangan Guntur kembali dan bertanya, “dari mana Tur?” dan dengan santainya Guntur menjawab, “habis buang sial, bu. Masa tadi saya kejatuhan tai cicak.” Dan lagi-lagi saya speachless dan nyengir-ngga-tau-mau-bilang-apa.

Karena proses menambal motor masih lama, dan anak-anak harus cepat sampai kecamatan untuk lomba, saya menelpon teman saya yang satu lagi, Rara. Rara membawa mobil kepala sekolahnya untuk mengantarkan anak-anaknya ikut lomba. Tidak berapa lama, Rara datang dan membawa kedua anak saya ikut serta. Shinta yang membawa motor saya persilahkan berangkat duluan.

Sepanjang saya menunggu ban motor yang ditambal, beberapa kali saya terfikir ucapan-ucapan Guntur di hari yang masih pagi ini.

Setelah itu semua cerita tentang lomba OSN berjalan lancar; anak-anak berhasil sampai di kecamatan tepat waktu, motor beres, dan semua berjalan lancar sampai lomba selesai. Which means there are absolutely no good story. So, let’s skip ahead!

Perjalanan pulang, ketika sampai di sekolah Shinta kembali, kami, Saya, Raudah, dan Guntur kembali bermotor tiga orang menuju desa. Di tengah perjalanan di tengah semak-semak, saya berjanji kepada Guntur tidak akan togor-togor lagi, sebelum akhirnya, “Tur! Tur! Apa itu tadi lewat?!” Kemudian dengan ekspresi yang sama guntur menjawab, “Pak! Katanya tidak akan togor-togor lagi?!” Dengan bingung saya menjawab, “Tapi.. tapi.. tadi kan bukan bebauan, Tur. Saya melihat... *dan kata-kata terputus -_-“

PS : Bagaimana saya melihat ekspresi Guntur padahal guntur di belakang saya? Saya hanya menebak, karena Guntur selalu berekspresi sama

PSS : Guntur akhirnya berhasil mewakili kecamatan dalam olimpiade matematika di kabupaten

PSSS : Guntur tidak suka naik mobil. Dia bilang, “kalau naik mobil, saya harus makan antimo yang pil sama bodrek satu. Kalau tidak, saya seperti jalan di tanah.” *I don’t know what it means


Cerita Lainnya

Lihat Semua