Tuhan, Ajari Aku Mencintai Dingin

Hidayatul Mabrur 28 Juni 2013

Tulisan ini kutulis ditegah malam tepat pukul 23.00 WIB dihari keenamku di desa ini. Diluar sana, sinar bulan purnama menghampar terang juga tak ketinggalan kerlingan bintang-gemintang. Suara jangkrik saut menyaut, angin berhembus dari segala penjuru, masyarakat tampaknya sudah tak ada lagi yang beraktifitas diluar rumah, lantaran dingin yang sangat tidak wajar. Saking dinginnya desa ini, aku sering menyebutnya sebagai dingin yang “tak terdidik”. Bagaimana tidak, seumur hidupku barulah kali ini aku merasakan daerah dengan derajat suhu sedingin ini. Di tanah Jawa, orang-orang mengenal Banjarnegara atau Dieng sebagai daerah dengan keganasan dingin yang luar biasa. Tapi sungguh, kedinginan desaku ini telah melupakanku pada Banjarnegara, Dieng atau daerah manapun yang pernah membuatku menggigil, karena kedinginannya desaku ini betul-betul sudah membabi buta. Oh Tuhan, padahal aku paling tak kuat dengan makhluk yang bernama dingin.

Desa ini bernama Danau Gerak, kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, kurang lebih memakan waktu 10 jam perjalanan darat dari Ibukota provinsi Sumatra Selatan, Palembang. Desa ini merupakan desa binaan baru yang dipilih yayasanku Indonesia Mengajar sebagai penempatan salah satu Pengajar Mudanya. Sekeliling desa merupakan perbukitan dan dilewati jalur bukit barisan Sumatra yang memanjang dari provinsi Lampung hingga Aceh. Disebelah barat, desa ini langsung berbatasan dengan provinsi Bengkulu.

Mayoritas masyarakat disini bertani kopi, padi dan sayur mayur. Jika pagi tiba, mereka berbondong ke ladang dan sawah sedangkan anak-anak berangkat mengaji lalu bersekolah. Walau dingin, tak menjadikan alasan bagi mereka untuk tetap melakukan rutinitas hidup. Etos kerja masyarakat sangat tinggi dan kesadaran akan pendidikan cukup baik. Itulah juga yang membuatku tetap yakin bahwa aku mampu bertahan hingga setahun kedepan untuk mengajar sebagai guru bantu di SD desa tempatku tinggal ini, walau setiap hari­­­­nya harus berkelahi dengan dingin.

Aku ingat, ketika masa transisi di ibukota kabupaten Muara Enim beberapa pekan lalu, setiap kali berkenalan dan berjumpa dengan masyarakat di kota Muara Enim, mereka bertanya. Dimana daerah penempatmu, nak? Lalu kujawab "Semende", sontak mereka langsung berkata, Haaa.. Semende.! Lalu, ketika mereka bertanya lagi desanya apa? Lantas kujawab, “desa Danau Gerak”. Haa..., Danau Gerak..! "Pacak lah tu". Dengan logat bahasa daerahnya, begitu rata-rata ekspresi mereka setiap kali mendengar kata desa Danau Gerak itu. Entahlah, sebenarnya akupun tak paham. Ekspresi wajah mereka rata-rata tidak jelas, aku bingung menafsirkan ekspresi apakah itu, apakah pertanda baik atau sebaliknya?.­­­

Kini setelah seminggu di desa ini, aku mulai mengerti apa makna ekspresi wajah orang-orang itu. Rupanya desa ini adalah desa dengan ketinggian 2000 kaki diatas permukaan laut dan sekaligus merupakan dataran pemukiman tertinggi di daerah Sumatra Selatan. Secara otomatis suhu kedinginan didesa ini adalah yang paling “menggila” di provinsi ini. Seminggu sudah aku tinggal tinggal di desa ini, namun baru tiga kali berani menyiramkan air kesekujur tubuhku (mandi). Haha..

Bagi masyarakat sini, tidak mandi di pagi hari bukanlah sebuah momok, sehingga tidak heran jika orang-orang ke ladang atau anak-anak yang berangkat kesekolah tidak melakukan ritual mandi terlebih dahulu. Karena suhu kedinginan air dipagi hari benar-benar terlewat dingin. Lebih-lebih jika hendak berwudhu melaksanakan solat subuh, tantangannya tidak hanya sekedar membasuhi kulit, tapi berwudhu disubuh hari, itu sama artinya dengan kita bersedia membasuh tulang belulang. Aku membayangkan, betapa besarnya pahala orang-orang yang melaksanakan solat subuh di desa ini, lantaran tidak hanya berjuang menahan kantuk, tapi juga menahan dingin yang tidak terdidik itu.

Dipagi hari, mampu beranjak dari selimut – terutama bagi orang-orang baru sepertiku ini - adalah prestasi yang gemilang, dan semua masyarakat disini kuyakin juga mengamini itu. Kalau saja tidak untuk memenuhi nafkah sehari-hari, mereka mungkin lebih memilih memanjangkan tidurnya dibawah selimut-selimut tebal. Begitupula aku, kalau saja tidak mengajar, aku rasanya akan betah untuk tidur seharian, asal dikemuli 3 lapis selimut wol tebal lengkap dengan kaos kaki, sarung tangan dan topi kupluk penangkis dingin. Tapi untunglah aku disini diutus sebagai Pengajar Muda, rasanya malu untuk berlama-lama dikasur ketika pagi hari. Maka untuk memalingkan rasa dingin itu, beragam kegiatan kulakuakan, mulai dari berolahraga, berkemas-kemas hingga mendekatkan sekujur badan pada tungku api yang  saban pagi dinyalakan Ibu untuk menjerang air.

Maka bersyukurlah kalian yang berada di kota, tak perlu bersusah payah berjuang menahan jahatnya dingin. Sedangkan disini, walau dingin menyengat mereka harus tetap bangun pagi, berkemas, memasak kemudian melangkah ke ladang agar priuk-priuk di dapur tetap “bergendang”. Bersukurlah kalian karena ketika hendak ke kantor, ke kampus, ke sekolah dengan keadaan badan telah terjirus air dengan suhu yang cukup manusiawi. Disini, anak-anak harus tetap berangkat sekolah walau dengan keadaan tiadak mandi (entah apa rasanya), bukan karena mereka tak mau mandi, tapi karena tak kuatnya daya tahan tubuh menahan sengatan dingin yang membinasakan ini. Disini, aku belajar betapa berharganya kehangatan.

Tuhan, ajari aku mencintai dingin.

 

                                                                                

                                                                            Puncak Semende, 25 Juni 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua