Saltum yang Indah

Hety Apriliastuti Nurcahyarini 22 Oktober 2011

Bagi para fashionista pasti heran, sejak kapan saltum (as known as salah kostum) bisa berakhir indah? Saya bisa. Penasaran? Baca saja cerita saya..

 

Kyaaakkk.. Saltum! Jujur, itu adalah jeritan suara hati saya yang terdalam saat anak-anak kelas 6, murid saya, sudah mulai bosan berada di kelas dan mengajak saya untuk berjalan-jalan keluar. “Buuuuk, jalan-jalan, Buuuk,” seru seorang anak dengan logat Bawean yang khas dan diikuti oleh anak-anak lainnya. Padahal, puluhan menit sebelumnya, saya sudah mengajak mereka belajar di luar kelas, observasi dalam rangka pelajaran IPA ‘Ciri-ciri Khusus pada Hewan’. Ada yang mengamati bebek milik tetangga, sapi milik tetangga, dan cicak milik tetangga (note: saya tak menyangka mereka benar-benar menangkap cicak untuk diamati lho. Mereka masuk ke salah satu rumah penduduk dan menangkap cicak). Tapi nyatanya, mereka tetap saja masih ketagihan belajar di luar kelas.

 

Bagaimana ini? Bagaimana hati terdalam saya tidak berteriak saltum. Saya sudah membayangkan ladang, persawahan dengan tanah yang lunak dan liat, bebatuan, jalanan yang tidak rata, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Pikiran buruk benar-benar merasuki pikiran saya. Bagaimana nasib sepatu saya? Saya benar-benar salah pakai sepatu ke sekolah hari ini. Saya saltum titik.

 

Yah, kalau boleh dibilang, saya adalah golongan PPS alias Perempuan Pecinta Sepatu (walau kalau dihitung, jumlah sepatu saya tidak sebanyak sepatu milik Tante Imelda Marcos, mantan first lady Filipina. Konon katanya, saking banyaknya, koleksi sepatunya sampai bisa dimuseumkan). Bagi saya, sepatu adalah segalanya. Walau baju yang saya pakai sudah matching, sudah cantik, sudah rapi, kalau sepatu saya tidak cocok dengan acaranya dan tidak nyaman dipakai, semuanya bisa kacau.

 

Dan hari ini, saya was-was. ‘Ideologi kesepatuan’ saya dipertaruhkan. Tapi mendengar keinginan dan rengekan anak-anak itu, saya luluh juga. Akhirnya saya meng-iya-kan keinginan mereka untuk berjalan-jalan keluar, berjalan-jalan ke sawah. Sebenarnya ada keinginan untuk lari sebentar ke rumah, bertukar sepatu. Tapi kali ini saya mencoba benar-benar tidak memedulikan jeritan hati saya. Sepatu? Sudahlah. Demi anak-anak saya.

 

Beberapa menit berlalu. Jalanan berbatu, menanjak, becek, bertanah liat, benar-benar saya lewati. Saya hebat. Saya berhasil menakhlukkan semua itu dengan flat shoes berwarna krem mengkilap dengan ujungnya yang lancip. Oh, my God, gambaran ekstreemnya, majalah fashion ibukota pasti akan memarahi saya jika melihatnya.

 

Tapi, semuanya terbayar LUNAS!

 

Berjalan melewati rumah penduduk, melalui persawahan, melintasi jalan menanjak bersama anak-anak rupanya sangat menyenangkan. Dan moment yang lebih berharga lagi adalah saat kami rujakan bersama di tengah sawah. Dengan buah dondong hasil memanjat pohon di jalan, dan garam plus cabai yang dibawa Jumilah dari rumahnya, semuanya menyenangkan.

 

Kami akrab, kami dekat. Sepanjang perjalanan kami bercerita, sepanjang rujakan kami bercanda.


Cerita Lainnya

Lihat Semua