Ketika Saya Memutuskan Menjadi Pengajar Muda

Furiyani Nur Amalia 26 Agustus 2011

Senja hampir tenggelam, duduk di ujung dermaga. Udara pesisir pantai yang masih sama aku hirup tiap harinya. Masih bersih segar, tidak ada peluh asap hitam motor, tidak ada polusi suara selain celoteh malaikat kecil yang sedang bermain di pantai. Sepanjang mata memandang hanya batasan horizon antara langit dan bumi yang begitu kontras berpadu menjadi sebuah kesatuan alam. Begitu indah dan begitu damai. Sunyi, suasana gedung yang tergantikan dengan kokohnya pohon kelapa, yang tanpa lelah melambaikan pelepah demi pelepah nyiurnya. Gemericik air laut dan gulungan ombak menerpa ujung kedua kakiku. Tekstur pasir yang kasar namun sentuhannya memberikan kelembutan di pori kulitku. Ikan layar yang sesekali muncul di atas permukaan seakan menyapa kicauan burung yang mengepakkan sayapnya di atas hamparan samudera ini. Indah. Indah sekali. Bayangan wajah yang terpantul jelas di riak-riak air seakan merefleksikan sebuah kenangan dan inspirasi mengapa aku duduk di bantalan pasir seperti sekarang. Kenangan itu indah sekali.

Saat itu di ruangan yang tidak begitu luas dengan layar komputer flat di depanku. Disampingnya banyak sekali kertas tugas yang harus aku kerjakan dan sementara software komputerku tak henti-hentinya memberikan report pekerjaan yang harus aku selesaikan saat itu. Namun, pandanganku tak tergubris ketika seorang teman menyodorkan sebuah koran yang sangat familiar di Jawa Timur, yang menurutnya adalah oleh-oleh buatku dari Jawa Timur. Dan memang itu adalah oleh-oleh. Dari situ aku mengenal situs itu. Dari situ aku mengenal seorang bernama Ayu Kartika Dewi. Dari situ, ide ‘gila’ itu muncul. Warning alert dari komputerku meronta-ronta. Pekerjaanku harus selesai tepat waktu.  Namun aku berjanji dalam hati, “I wanna be the part of it and I’m sure I be one of them, soon!”. Dan pada sampi akhirnya, situs itu menjadi agenda wajib yang harus aku buka, manakala segala informasi ‘to be the one of them’ tertunda oleh ‘warning alert’ komputerku yang memakan seharian waktuku.

Sengaja aku copy paste apa yang menjadi catatanku di ipodku, dimana saat kegalauan terbesarku muncul yang berbunyi seperti ini,

March 24 2011 – 11.32

Still on my soft chair. How can I touch u my letter acceptance? Im so confuse now. Yes, its not about my decission, but its about “can i live there in one year? Can I give something usefull that I never do before? “Dearest Letter Acceptance, can u give me some clue? What? I can’t hear u, Letter.. Louder please.. oh, ya I hear u..what?? I must say to my mom?? I think thats not a good idea for now. Maybe then. Yes, u are right Letter, just do it and thinking then. So, what must i do?? Oh, just write down, right??  Yes, just write it, thingking then :D

Ya, mungkin kalian membacanya sebagai sesuatu yang kacau. Bahkan saat aku pun mengikuti tes dan sampai hari sebelum 2 minggu keberangkatanku, orang tuaku tidak mengerti mengenai hal ini. Yang beliau tau, anaknya akan bersekolah di luar negeri pertengahan Juli nanti. Tapi yang jelas saat menuliskannya aku begitu percaya diri dengan apa yang aku punya sekarang. Dan seperti apa yang terjadi dalam catatanku antara batin dan pikiranku semua menyarankan untuk, “tulis saja, pikirnya nanti”

Aku singkat saja bagian pergejolakan batin dan pikiranku. Tekadku sudah bulat saat itu. Dan dengan segala keberanian, aku memasuki ruangan yang dindingnya putih, kursi tinggi yang menandakan kegagahan dan kepemimpinan di bagian gedung ini. Dengan surat bersampul putih yang berisikan pengunduran diri. Bagaimana kejadiannya? Biar memori otakku yang mengingatnya.

Dalam hidup, banyak yang selalu menanyakan untung ruginya, menyesal atau tidak, bagus atau jelek, kurang atau lebih, bisa atau gagal. Selalu dua pilihan yang berkebalikan arah. Saat itu, banyak yang mempertanyakan tentang itu. Saat itu aku sadar akan banyak yang mempertanyakan keputusan ini. Menjadi seorang guru, dibanding dengan pekerjaan yang sudah mapan dan lanjutan master yang sudah di tangan, harus di nomer duakan demi menjadi seorang guru di pelosok. Maka dari itu, saya lebih banyak diam. Tak banyak pujian, malah lebih banyak cibiran. Maka dari itu, diam jadi solusinya. Hanya sebagian sabahat yang mendukung rencanaku ini yang tahu kemana aku akan pergi. Setahun lagi, setahun setelah itu.

Seminggu setelah berada di pulau ini, aku menuliskan sebuah surat untuk orang terhebat dalam hidupku. Aku tuliskan bagian yang menurutku paling berat menurutku. Pengakuan rasa bersalah saat itu.

Juni 23 2011

Bapak, Ibu yang adek rindukan..

..... Masih teringat betul, mata Bapak dan Ibu ketika mendengarkan keputusanku ini.  Semoga saya adalah anak yang masih bisa membanggakan Bapak dan Ibu. Semoga Allah masih memberikan kelapangan hati dan dada menerima keputusan anakmu ini. Bapak dan Ibu masih bangga kan dengan guru di pelosok ini kan? Bukankah Allah adalah Maha dari pemilik segala Maha yang ada di jagad ini kan Pak, Bu?? Tidak ada yang tidak mungkin jika Dia lah yang berkehandak. Semoga berkah dan salam selalu terlimpah pada Bapak dan Ibu di rumah.....

Ceritanya adalah saya sudah menggembar gemborkan bahwasannya saya akan bersekolah tengah tahun ini ke negeri sakura demi menempuh masterku. Dan dengan bangganya orang tuaku sudah memberikan dan menyiarkan kabar ini kepada keluarga dan koleganya. Dan saat hari pengunduran diriku dari tempatku bekerja di setujui, aku kembali ke rumah, harapan dan kebanggaan secercah terlihat di wajah mereka, anaknya akan segera berangkat ke negeri orang.  Dan jawabnya bukan.

Perlu menata dan memantapkan hati orang tuaku saat itu. Aku tidak beralasan mengapa aku harus memutuskan menjadi pengajar muda. Aku hanya ingin. Hanya itu. Aku tidak ingin alasan yang terlalu tinggi. Aku hanya ingin dan tekadku sudah bulat. Aku akan menjadi pengajar itu saja. Bukan untuk siapa-siapa, hanya untukku dan Tuhanku. Itu saja.

Butuh waktu seminggu lebih untuk menyampaikan suratku kepada orang tuaku. Tentang apa yang aku kerjakan seminggu di pulau ini. Dan ibuku membalas dengan sms

saya selalu bangga atas semua yang kamu lakukan yang menurutmu baik, anakku

Lega. Semangat kembali membuncah. Ketika kulangkahkan kaki di pasir-pasir ini, dengan semangat aku ucapkan, ‘aku tidak akan mengecewakan kalian :)

 

Menunggu ajakan adzan maghrib yang hanya bisa aku lihat dari pudarnya senja orange yang menghilang sedikit demi sedikit diganti datangnya malam. Tak ada suara adzan, yang ada hanya riuh murid-muridku dan bayangan nelayan yang akan mendarat ketepian setelah melaut. Melihat bayangan di wajah, seakan melihat mimpi-mimpi yang akan aku raih disini bersama muridku. Tanpa sedikit penyesalan, menjadi pengajar muda adalah layaknya dermaga yang aku duduki sekarang, dimana aku bisa menatap horizon laut dan langit yang kelihatannya dekat namun sebenarnya jauh, aku bisa merasakan pantulan wajah, dimana aku bisa berkaca kapan pengalaman itu membawaku pergi ke dunia lamaku, dan kapan mimpi itu bisa membawaku pergi setahun nanti. Love gives love takes.

With love always

Furi :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua