Rumah Relawan

Farli Sukanto 29 Maret 2015

Gambar di atas saya ambil pukul setengah enam pagi setelah beberapa menit sebelumnya saya terbangun. Saya melipat rapi selimut dan merapikan alas tidur yang dipinjamkan nyaris tanpa suara. Kemudian saya mengemas sedikit barang yang tercecer di kamar ke dalam tas, memanggulnya di bahu kanan, meraih helm dengan tangan kiri, dan mengendap-endap keluar. Menyalakan mesin motor pun dengan penuh keragu-raguan. Di atas motor, sambil menunggu mesin agak panas saya pun meninggalkan pesan singkat untuk Si Pemilik Rumah.

Kak beta pulang mandi dulu ya. Sebentar sore beta datang lagi. Terima kasih untuk semuanya kemarin.

 

***

Saya tidak sedang lari dari tanggung jawab. Pun tidak ada Kakak Nona sedang terlelap manis yang saya tinggalkan dari rumah tersebut. Ini bukan cerita kekhilafan seorang Pengajar Muda.

Ini adalah markas (karena istilah sekretariat kurang mencerminkan karakteristik perkumpulan pemiliknya) Geng Motor Imut (GMI) di Kupang, kota tersibuk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemarin malam, seusai berkoordinasi soal apa-apa saja yang bisa mereka bantu sebagai Panitia Rote Mengajar cabang Kupang, saya larut dalam diskusi dengan para penggerak kegiatan sosial di kota ini hingga terpaksa menginap karena usainya baru dini hari. Mereka adalah relawan GMI, Sekolah Multimedia untuk Semua (MUSA), dan (PIKUL). Baru bertemu pun, satu per satu dari mereka sudah sangat akrab saya sapa dengan panggilan Kakak.

Geng ini benar-benar beranggotakan penggiat bermotor, tapi percayalah mereka tidak mewakili definisi imut yang direpresentasikan dengan baik oleh JKT48. IMUT adalah akronim dari Inovasi, Mobilisasi Untuk Transformasi. Komunitas yang beranggotakan alumni Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana di Kupang ini tidak hanya berperan sebagai marketplace untuk distribusi teknologi bagi petani dan peternak di Nusa Tenggara Timur, tapi juga sebagai inventor untuk alat-alat maupun metode yang ditawarkan.

Pertanian dan Peternakan memang jadi fokus utama gerakannya. Tapi atas asas kemajuan tanah NTT yang menjadi mimpinya, perkumpulan ini pun siap mendukung gerakan-gerakan sosial lain, salah satunya Pendidikan.

Pada kesempatan itu, saya seorang diri melanglang buana di Kupang dari Rote. Dua minggu menjelang perhelatan besar kami, Rote Mengajar, semua panitia memang jadi sibuk mengurus persiapan di Rote. Jadilah saya satu-satunya utusan ke Kupang untuk membantu koordinasi antara relawan panitia di Kupang dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan propinsi yang juga secara sukarela turun tangan mendukung tersedianya akomodasi dan transportasi bagi relawan Rote Mengajar selama berada di kota pusat pemerintahan NTT itu.

Sejak kenekadan (bukan sekedar tekad) merealisasikan Gerakan Rote Mengajar itu dibulatkan dengan langkah-langkah konkrit, kemudahan serta dukungan datang tanpa peringatan. Seratus delapan profesional dari berbagai instansi di dalam Kabupaten Rote Ndao yang menggenapi keseluruhan relawan menjadi 216 orang ternyata belum cukup menghentikan decak heran dan kagumnya kami para panitia. Sambutan rekan-rekan penggerak kegiatan sosial di Kupang yang mengajukan diri membantu ini dan itu tanpa diminta-lah yang meyakinkan kami bahwa benar kebaikan itu menular.

Saya menemukan markas ini begitu asyik. Menjelang malam, bukannya tambah sepi, tempat ini malah tambah ramai. Atas undangan yang hanya disebar melalui pesan singkat (SMS), satu per satu orang, yang kemudian saya kenal sebagai relawan untuk gerakan-gerakan sosial di NTT, memarkirkan motornya, naik ke teras, meletakkan helm sekenanya, duduk bersiap untuk rapat beragendakan apa saja yang berbau gerakan sosial, malam itu judul “Rote Mengajar” sudah mengisi karton putih besar ditempel selotip yang menjadi pengganti papan tulis.

Bukan hanya jamuan kopi hangat dan kudapan bunga jagung (pop corn) pendamping rapat, atau nasi panas dan lauk ikan yang siap terhidang setiap jam 12 malam yang bikin markas GMI ini menyenangkan, tapi kesatuan frekuensi dalam setiap bincang-bincang, baik serius maupun santainya-lah yang bikin betah duduk menempel lama-lama di kursi terasnya yang terbuat dari ban-ban bekas.

Saya juga menemukan markas ini dimaknai rumah oleh para relawan Geng Motor Imut. Ada orang-orang muda yang pulang ke sini setiap malam, satu kelompok memasang in focus untuk berdiskusi di sudut sana, satu kelompok sibuk membongkar pasang sambungan pipa dan tuas-merangkai sprinkler di sudut yang lain, semua menyelesaikan kerja atau diskusi terkait proyek yang perlu, lalu bermalam. Bermalamnya pun dengan rela hati membagi sepetak ruang dengan relawan-relawan lainnya. Belum lagi beberapa tidur bertelanjang dada, tidak hanya ruang, bau asam keringat pun harus rela hati dibagi.

Ada Ayah, yang di sini dipanggil Bapak, yang menjadikan markas sebagai tempat bermain anak-anaknya. Seharian bahkan sampai menginap. Si Anak-Anak yang manis jadi tidak pemalu pada orang baru karena sudah banyak Paman, yang di sini dipanggil Om, yang jadi teman bermainnya setiap hari. Ada juga istri relawan yang sibuk menyiapkan suguhan ke tengah meja rapat, lalu setelahnya duduk di sudut ruangan dan siap ambil bagian dalam proyek yang tengah dibahas.

Dalam sekejap saya pun mengenang satu rumah seperti ini semasa perkuliahan dulu. Sekretariat perhimpunan yang jadi tempat menghabiskan sebagian besar masa sebagai mahasiswa, mengalahkan waktu di kampus atau bahkan di kamar kos sewaan.

Jadi, menginap untuk alasan melarutkan diri dalam diskusi tentang ide-ide gerakan sosial mungkin hanya alibi. Sebenarnya saya sedang ingin kembali memaknai rumah. Di titik ini, bagi saya, rumah mungkin bukan tempat darimana saya berasal. Besar kemungkinan dia adalah ruang-ruang yang justru akan saya jelajahi.

 

***

Begitu pesan singkat tadi berhasil terkirim, satu nada dari telepon seluler memperingatkan say bahwa ada pesan baru yang masuk. Pagi sekali. Dari siapa?

Oh, Ibu!

Dek, Riri resepsi di Bali tanggal 20 Juni. Adek kapan pulang Jakarta?


Cerita Lainnya

Lihat Semua