Sorot Mata Itu

Christiva Pawestri 27 September 2013

Pagi yang cerah itu merupakan hari penting buatku. Ya, hari senin lalu serasa berbeda. Aku akan bertemu sosok-sosok yang dahulu tidaklah asing bagiku. Perasaanku campur aduk. Aku tidak tahu harus merasa senang atau takut bertemu dengan mereka. Satu hal yang ku tahu, cepat atau lambat aku akan bertemu dengan mereka. Aku menghela nafas panjang dan memantapkan hati untuk menapaki hari itu tanpa keraguan sedikitpun.

Aku tiba di suatu tempat. Tempat itu sungguh mempesona. Bagaimana tidak, tempat itulah semua harapan dan asa dapat selangkah lebih dekat. Di tempat itulah terdapat senyum-senyum merekah, canda tawa dan sorot mata yang tajam. Malaikat-malaikat kecil yang tak bersayap. Hal itu mungkin ungkapan yang paling tepat.

Aku baru pertama kali menginjakkan kaki te tempat itu dan pertama kali pula aku bertemu dengan mereka. Senyum mereka begitu hangat. Sapa mereka menggetarkan hati. Sorot mata mereka membuat saya jatuh cinta. Sorot mata yang tajam menusuk relung hatiku, menusuk dalam, begitu dalam. Tanganku pun bersambut dengan tangan mungil mereka. Genggaman mereka kuat dan pasti. Mereka mengangkat tanganku dan menaruhnya di dahi mereka. Ini semacam tanda penghormatan tertinggi yang pernah aku terima. Serentak aku terdiam beberapa detik, nafasku berhenti, aliran darahpun seakan berhenti sesaat. Waktu itu, dunia seakan dikendalikan oleh seorang Sang sutradara dan aku mendapatkan adegan “freeze”. Pagi itu aku merasakan moment istimewa, begitu istimewa. Tak begitu lama, Sang sutradara kembali mengembalikan adegan kehidupanku ke bagian “camera action”. Aku segera merespon salam mereka, dan mengajak meraka ngobrol beberapa saat. Aku seakan tidak mau meninggalkan kebersamaan itu, begitu indah.

Kami kemudian berpindah tempat ke suatu ruangan yang menjadi saksi bisu aku dan mereka. Ruangan yang berisikan foto bapak Presiden dan Wakil Presiden, papan tulis, meja kursi yang saling berpaut, dan tentunya hanya ada aku dan mereka. Ruang kelas, itulah namanya. Ruangan tempat dimana semua pengetahuan akan dibagikan, jauh lebih dari itu, pengalaman hiduplah yang akan dibagikan. Ketika aku duduk di depan mereka, aku merasakan tatapan mata mereka. Aku mulai menghitung berapa pasang mata yang menatapku. Satu pasang mata, dua pasang mata, tiga pasang mata, empat pasang mata, aku salah....ada puluhan pasang mata. Kali ini sorot mata mereka seakan berbicara “Bu, ayo belajar..aku mau belajar hari ini.” Segera akupun menyambut ajakan mereka. Pagi itu, aku mengajar mereka, akan tetapi lebih dari itu, aku belajar dari mereka.

Begitulah anak-anak, selalu mendapatkan tempat penting di hatiku. Buatku, anak-anak adalah anugerah. Anugerah ketika mereka tersenyum. Anugerah ketika mereka tertawa. Anugerah ketika mereka bermain dan belajar, dan bahkan anugerah ketika mereka menangis.  Semua anak dilahirkan dengan tujuan mulia dan mereka berhak kita sambut dengan hati yang terbuka. Mendidik mereka merupakan penghormatan tertinggi yang pernah aku dapatkan selama hidup. Aku bersyukur.   


Cerita Lainnya

Lihat Semua