Kisah Sebuah Sore (#RefleksiBodohPengajarMuda8 edisi1)

Muhammad Catur Saifudin 20 September 2014

Sore itu terasa sangat terik, lebih dari terik yang biasa diterima kulitku saat di dusun penempatan, Baku kecamatan Lambu, sore itu aku sedang melakukan lawatan ke dusun penempatan salah satu rekanku di dusun Bajo, kecamatan Sape.

Memandang lautan luas yang dikelilingi pegunungan dengan diiringi angin semilir membuat memoriku melompat pada saat awal mendaftar Indonesia Mengajar, saat itu aku sempat berdo’a untuk ditempatkan di daerah laut, saya sangat suka laut, suasananya yang tenang, gerakan airnya, pandangan yang luas selalu berhasil menyejukkan hatiku. Sebelum pengumuman penempatan, saya dan rekan Calon Pengajar Muda lain selalu diingatkan bahwa penentuan lokasi penempatan pada dasarnya adalah random, jadi kami harus siap ditempatkan dimana saja dan tidak lupa kami juga diingatkan tentang niat awal mendaftar yaitu untuk belajar dan berusaha melakukan sesuatu, jadi kami benar-benar dikondisikan Zero Expectation, karena tak mau terlalu sibuk dengan hal yang dapat mengganggu proses setahun kedepan, sayapun berusaha zero expectation tentang lokasi penempatan. Saat  pengumuman lokasi penempatan telah tiba, ternyata saya ditempatkan di tengah gunung, beruntungnya lokasi saya masih dapat mengakses laut walaupun perlu sekitar 1jam berjalan kaki. Beruntung pula saya selalu diingatkan tentang zero expectation, sehingga hal yang tidak sesuai degan keinginan hati bisa dikontrol dan tidak terlalu mengganggu.

Cerita itu berlanjut saat mulai mengajar di SDN Inpres Baku, saya menjadi wali kelas 6, seperti SD pada umumnya termasuk saat saya masih SD, guru wali kelas mengajar seluruh mata pelajaran. Sebagai seorang guru baru di daerah pelosok yang penduduknya masih sangat minim menempuh pendidikan tinggi, muncul keinginan muridnya menjadi seperti A, B, C, atau D, berperilaku A, B, C, D, ternyata hal itu malah memunculkan begitu banyak masalah, membuat stress sendiri karena pada dasarnya murid telah berada pada kondisi tersebut sejak dahulu baik itu tentang kebiasaan, lingkungan, dan berbagai hal lain. Dan perlu ditegaskan bahwa itu adalah hidup si murid bukan hidup gurunya, jika hal itu terus dipraktekkan maka bukan hanya akan menyengsarakan diri sendiri tetapi juga mematikan potensi anak. Sehingga fokus diubah menjadi fokus ke prosesnya, perbuatannya, bukan hasil, merekalah yang memutuskan akan dibawa kemana seluruh pengetahuan yang telah mereka dapatkan.

Menjadi guru memang unik ya, tugasnya ngasih ilmu terus “hanya” sembari optimis memandang bahwa mereka punya masa depan yang lebih baik, bahkan mungkin lebih baik dari gurunya. Hal itu kembali mengingatkan saya zero expectation yang sering didengung-dengungkan saat pelatihan.

Pikiran saya kembali melompat kepada hakikat kehidupan yang sangat familiar namun sangat mendasar, yaitu untuk terus fokus melakukakan kebaikan tanpa mengkhawatirkan hasil.

Ah, memang betul, “mengajar adalah belajar”, terima kasih semuanya, spesial untuk para guru yang tak pernah henti memberikan ilmunya dalam kesunyian pujian apalagi penghargaan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua