Semangat itu Menular
Bunga Ramadani 30 September 201315 September 2013.
selamat datang realita.
Sudah tiga bulan berlalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Bumi Duan Lolat[1] ini. Aku mendapati bahwa beberapa hal tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, terlebih ketika aku masih berada di camp pelatihan Calon Pengajar Muda. Selama kurang lebih 8 minggu dibekali dengan berbagai keterampilan pedagogis, kepemimpinan, ataupun pelatihan fisik, pada akhirnya aku berani berkesimpulan bahwa pelatihan sesungguhnya adalah ketika aku berada di penempatan.
Karakter anak-anak yang sangat beragam, dengan tipikal kecerdasan yang juga tidak kalah bervariasi, menjadikan tugas ini semakin menantang bagiku dan tentu saja 73 Pengajar Muda angkatan VI lainnya. Pada awalnya selalu ada kecemasan, itu pasti. Tapi sepertinya sudah menjadi sebuah kebiasaan dan kesenangan tersendiri bagiku, untuk mengubah kecemasan menjadi sebuah perasaan excited.
Menjadi wali kelas IV, dengan jumlah siswa 32, yang notabene semuanya adalah anak-anak hiperaktif, jelas menuntut adanya teknik penguasaan kelas yang lebih. Disamping kemampuan calistung yang belum terlalu baik, perilaku anak-anak yang sangat sering bertengkar dan menyakiti satu sama lain, tentu menjadi PR tambahan. Berbagai metode kreatif A, B, C, hingga D telah diujicobakan di ruang kelas ataupun di luar kelas. Hasilnya ? Not bad. Meskipun beberapa anak laki-laki tetap lebih memilih menikam teman sebangkunya dengan pena, paling tidak sebagian yang lain sudah mulai termotivasi untuk mengikuti pelajaran dengan baik.
Marthafina Ngilamele, misalnya. Ata adalah anak yang sangat rajin. Ata punya kemandirian yang tinggi dalam belajar. Di pagi hari ketika kelas belum dimulai, Ata sudah berlari menghampiriku sambil menyerahkan PRnya. “Bet setengah mati kerjakan PR sendiri hlo ibu”, begitu yang selalu dia sampaikan. Satu kali aku mendapati hasil kerja Ata belum terlalu baik. Aku bertanya, “Ata, os pung bapak deng mama ada di rumah kah pi kebong ?”. Ata jawab, “Dua-dua di rumah sekali, Ibu”. “Oke, sebentar malam kalo os ada biking PR, ajak bapak deng mama ya”. Ata menjawab “Ibu, bet su kerjakan PR deng Bapak hlo, tapi Bapak setengah mati. Bet pung mama lai. Bet pung mama seng sekolah, Ibu”. Mendengar jawaban Ata, aku terdiam cukup lama.
Pendidikan itu dimulai dari rumah. Dari keluarga. Tapi ketika anak-anak ini tidak mendapati sosok yang well-educated di rumah, aku berharap paling tidak mereka menemukan sosok yang mendukung mereka untuk bersekolah. Tapi pada kenyataannya, tingkat kealpaan anak-anak di desa ini sangat tinggi. Bulan-bulan ini lautan sudah teduh, bulan-bulan ini juga adalah musim panen. 90% dari orangtua siswa adalah petani. Biasanya orangtua mengajak anak-anaknya untuk ikut ke kebun. Bisa jadi satu hari. Satu minggu. Satu bulan.dst. Tidak sedikit dari mereka yang bertani hingga keluar dari Pulau Selaru. Bahkan, kebun-kebun khas desa Adaut (biasa disebut Tnyafar) justru lebih banyak terdapat di Pulau Angwarmas dan Pulau Nuyanat. Faktor inilah yang sedikit banyak mempengaruhi jumlah anak-anak yang putus sekolah. Aku percaya masih ada solusi untuk permasalahan ini. Misalnya dengan mengirim pengajar ke Tnyafar dengan sistem ‘kelas jauh’, meskipun tanpa bangunan sekolah secara fisik.
Satu kali aku mengabsen anak-anak di pagi hari. Setiap kali aku memanggil nama mereka, anak-anak akan mengangkat tangan tinggi-tinggi dan menjawab dengan lantang : “Siap belajar !”.
Ibu Bunga : “Owen.”
Owen Sermatang : “Siap belajar Ibu !”.
Ibu Bunga :“Yak, Owen siap belajar ya. Florensa”.
Florensa Kotngoran :“Pasti pintar Ibu, cakap ! Eh, siap belajar Ibu !”
Ibu Bunga : “Iya, Florensa pasti pintar ya. Dalson ?”
Ronald Lamers : “Dalson alpa Ibu. Dong ada pi kebong !”
Ibu Bunga : “Dalson su alpa berapa hari ini ya. La Ramly ? Ramly mana ya ?”
Ronald, siswaku yang sangat aktif di kelas menjawab lagi : “Ramly pi mengail Ibu !”
Jreng.....selamat menghadapi realita, Ibu Bunga J
---
setiap anak adalah juara
Aku percaya tidak ada anak yang bodoh. Mereka pintar dengan jenis kecerdasan yang mereka miliki, yang tidak bisa disamakan antara satu anak dengan anak yang lain. Dua bulan pertama, Putra Boruthnaban misalnya, adalah anak yang paling sering mengganggu temannya di kelas. Putra senang sekali memukul, memaki, dan membuat teman-temannya menangis. Belajar ? jangan harap. Mengeluarkan buku dan pena dari tas saja dia malas.
Baru di bulan ketiga ini, setelah aku rutin mengajak Putra berdialog, dan menyisipkan calistung-calistung teselubung, aku baru tahu kalau Putra memiliki kecerdasan logis-matematis yang sangat tinggi. Sekarang, Putra adalah anak yang paling rajin mengerjakan soal matematika. Bahkan tidak jarang dia meminta soal tambahan padaku ketika dia sudah lebih dulu menyelesaikan semua soal. Ketika suatu kali aku meminta seorang siswa yang datang terlambat untuk menjawab soal perkalian, Putra spontan berlari keluar kelas lalu berdiri di muka pintu seraya berkata, “Ibu, bet lai lho. Bet juga terlambat, bet mau jawab kali-kalian Ibu”.
Secara perilaku, Putra juga berubah menjadi anak yang lebih sopan. Alih-alih berlarian kesana kemari seperti yang sudah-sudah, Putra kini menjadi ‘polisi kelas’, yang siap membantuku mengkondisikan kelas agar lebih kondusif. “Bet mau tangkap anak-anak yang su lari pulang lho, Ibu”, ucap Putra suatu kali ketika jam istirahat hampir selesai.
Berlari pulang ke rumah untuk makan dan minum ketika jam istirahat sudah menjadi kebiasaan anak-anak sekolah di sini. Hal ini cukup menjadi masalah, karena pilihannya hanya dua : mereka akan kembali ke sekolah ketika pelajaran sudah berlangsung cukup lama, atau mereka tidak akan kembali. Yang sering terjadi adalah kasus yang kedua. Anak-anak tidak kembali ke sekolah seusai jam istirahat, dengan dalih ikut orangtuanya pergi ke kebun atau mengail ikan di laut. Ada yang bisa memberi saran untuk ini ? Feel free to contact me J
Di samping Putra, menyusul Meki Nanariain dan Ramly Sabarlele. Trio Putra-Meki-Ramly adalah tiga siswa yang pada awalnya paling tidak bisa diajak belajar bersama. Memang benar, bahwa yang namanya semangat dan motivasi itu menular. Melihat Putra semakin sering mendapat apresiasi positif dariku, Meki dan Ramly tidak mau ketinggalan. Meki memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi, sementara Ramly dengan kecerdasan kinestetis dan intrapersonalnya. Sekarang Meki dan Ramly menjadi anak-anak yang paling aktif bertanya dan menjawab di kelas. Meskipun sebagian guru masih memberi label bahwa anak-anak ini ‘bermasalah’ dan terlalu ‘kepala angin’, toh denganku mereka mau belajar. Dan mereka memang bisa ! Tidak ada yang salah dengan anak-anak ini. Ketika potensi dan motivasi bertemu, ketika itu juga saat yang paling tepat untuk mengembangkan dan memacu prestasi mereka. Mari bereskplorasi Putra, Meki, dan Ramly !
[1] Julukan untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat, atau yang lebih dikenal sebagai Kepulauan Tanimbar.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda