“Doa yang Terselip di Antara Lola, Teripang, dan Agar-agar”

Bunga Ramadani 6 Februari 2014

“Pengumuman – pengumuman, bagi segenap warga Adaut, diberitahukan bahwa minggu buka hasil laut akan dimulai dari hari ini, yaitu Senin tanggal 16 Desember, dan akan berakhir pada hari Sabtu 21 Desember. Untuk itu dimohon partisipasi dari seluruh warga desa, baik yang ada di dalam kampung, maupun di tnyafar-tnyafar, untuk turun bekerja dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan tahunan ini. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terimakasih. Syaloom !”

Adaut dan Buka Hasil Laut

Suara pengumuman dari pemerintah desa Adaut yang bergema cukup keras pada subuh itu, sudah lebih dari cukup untuk menggantikan suara kokok ayam jantan. Aku terbangun pagi itu dengan energi positif dan semangat baru. Ini adalah minggu terakhir di semester ganjil. Menurut kalender akademik yang dibagikan oleh pengawas UPTD Kecamatan Selaru, hari Sabtu di minggu ini adalah saatnya pembagian laporan hasil belajar. Seperti biasa, aku dengan sigap segera mandi dan bersiap menuju SD Inpres 2. Sambil buru-buru mengunyah kue dan menghabiskan susu coklat hangat, tiba-tiba Mama yang tengah sibuk di belakang perigi berucap : “Nona ti skole ? Jang sampai seng ada guru deng anak-anak skole lai. Barang ini minggu buka hasil laut tho. Mangkali dong su pi tnyafar-tnyafar ka apa.” Glek. Tiba-tiba aku tersadar. Kalau di hari-hari sekolah biasa saja, cukup banyak anak-anak yang bolos sekolah karena diajak orangtuanya ke kebun ataupun mengail, apalagi ini, di saat minggu buka hasil laut baru saja diinstruksikan oleh pemerintah desa. Buka hasil laut adalah agenda tahunan yang diadakan di lingkup petanahan Adaut. Di minggu ini, sebagian kecil warga desa akan berbondong-bondong menuju meti (air laut yang surut) di sepanjang pesisir desa Adaut. Sementara sebagian yang besar, akan menuju ke 23 titik tnyafar yang tersebar cukup jauh dari pusat pemerintahan desa. Sedikit cerita. Tnyafar adalah tempat berkebun bagi sebagian besar warga Adaut. Bahkan, cikal bakal terbentuknya desa Adaut pun sebenarnya berasal dari tnyafar-tnyafar. Jika berkesempatan untuk mengunjungi Adaut, mungkin kampung Adaut sendiri sudah bisa dibilang cukup maju untuk ukuran sebuah desa di Kepulauan Tanimbar. Dalam sejarahnya, bahkan Adaut sebenarnya dipersiapkan oleh Belanda untuk menjadi kota. Namun, lain halnya dengan tnyafar-tnyafar Adaut, dimana kita akan menemukan perkampungan kecil yang begitu indah dan sangat jauh dari sentuhan modernitas. Semuanya serba alami.

Sekolah Kami ‘Libur’

Oke. Tentunya masih dengan pikiran positif, aku pun mengangkat ransel hitamku, memakai sepatu, dan bergegas menuju sekolah. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 pagi, namun tidak terlihat satu pun siswa dengan seragam sekolah. Jalanan di desa pun sepi. Menuju sekolah, aku melintas di rumah Ibu Temmar, wali kelas II, yang ternyata sudah cukup sibuk dengan teripang-teripangnya. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, hampir tidak terlihat aktivitas warga yang berarti. Penasaran, aku pun melongok sekilas di meti besar yang hanya berjarak kurang dari 100 meter dari jalan utama desa. Benar saja. Ratusan warga, dewasa maupun anak-anak, sudah turun ke meti untuk berburu teripang, lola (sejenis kerang), ataupun menjemur rumput laut (di sini biasa disebut ‘agar-agar’). Aku pun meneruskan perjalanan ke sekolah. Ibu Batlayeri, wali kelas I, yang rumahnya persis berada di depan sekolah, terlihat masih mengenakan pakaian ‘kebun’. Begitu melihatku datang, Ibu Batlayeri berucap, “Ah, Ibu Bunga ke muka sudah. Sedikit lai Ibu Mariang su ada”. Sepertinya tidak ada sedikit pun beban di Ibu Bat, dan tidak terlihat tanda-tanda beliau akan bersiap untuk ke sekolah. Di gerbang sekolah, aku disambut oleh pintu pagar yang setengah terbuka. Aku sedikit lega, karena Bapak Meki, penjaga sekolah, tetap menjalankan tugasnya. Di sekolah, hanya terlihat beberapa siswa yang bermain bola kaki di halaman, selebihnya, kosong. Tidak banyak ba-bi-bu, aku pun membuka pintu kantor guru. Di daftar absen guru dan pegawai sekolah, hanya terlihat nama Bapak Meki di urutan pertama. Akhirnya aku putuskan untuk membuka ruang-ruang kelas. Hari sebelumnya adalah hari pemungutan suara dalam pilgub Maluku. SD Inpres 2 digunakan sebagai TPS. Pantas, meja-meja dan bangku-bangku sudah berserakan tidak beraturan. Tidak lama kemudian, Bapak Batlayar, guru penjaskes pun terlihat. Disusul dengan Ibu Mariang, guru agama kristen. Dua guru tersebut memang cukup rajin datang ke sekolah. Dalam beberapa kegiatan perlombaan, Bapak Bat dan Ibu Mariang juga dikenal cukup aktif dan kontributif dalam membimbing siswa-siswa di gugus I Adaut. Bapak Bat bahkan memiliki kreatifitas yang patut diapresiasi. Bulan Oktober 2013 lalu, ketika UPTD Kecamatan Selaru mengadakan kegiatan Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI), Bapak Bat menciptakan sebuah lagu persahabatan untuk siswa-siswa dari 7 desa di Selaru, yaitu desa Adaut, Kandar, Lingat, Fursuy, Werain, Eliasa, dan Namtabung. Kami bertiga pun berdiskusi panjang lebar mengenai kegiatan akhir semester, termasuk penerimaan laporan hasil belajar yang sepertinya akan tertunda hingga selesai tahun baru. Buka hasil laut yang sudah menjadi tradisi tahunan itu, telah menyedot seluruh warga desa, termasuk anak-anak, untuk terkonsentrasi di tnyafar-tnyafar dan meti besar di sepanjang minggu itu. Sekolah dengan terpaksa diliburkan.

‘Middle Class Raising’

Adaut adalah desa terbesar di Kepulauan Tanimbar. Dengan jumlah penduduk yang mendekati angka 5000 jiwa, kegiatan sosial ekonomi di desa ini terasa begitu hidup, baik di dalam kampung maupun di tnyafar-tnyafar. Lebih dari 90% penduduk Adaut, berprofesi sebagai petani dan nelayan. Masyarakat Adaut hidup di alam yang begitu memanjakan mereka. Laut yang kaya hasil, tanah yang menghidupi, dan semua itu lebih dari cukup untuk sekedar mengisi perut. Meskipun demikian, pendidikan dan ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan. Hasil laut ini juga lah yang pada akhirnya digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak Adaut. Pemandangan anak-anak kecil tanpa alas kaki, memikul ikan hasil mengail, berjalan keliling kampung di pagi, siang, sore, bahkan malam hari; adalah sesuatu yang sangat jamak ditemui di desa ini. Ketika buka hasil laut tiba, teripang-teripang Adaut yang tergolong sebagai komoditas dengan harga jual yang cukup tinggi, semakin memberikan limpahan materi bagi penduduk desa. Satu hal yang harus diacungi jempol adalah munculnya ‘middle class’ di Adaut yang sudah memiliki perhatian tinggi terhadap dunia pendidikan. Sebagai catatan, cukup banyak pemuda Adaut yang mengenyam pendidikan tinggi di berbagai perguruan tinggi di Ambon, Manado, Malang, Jogjakarta, dan kota-kota besar lainnya. Bahkan, di desa yang sarat dengan peninggalan Jepang ketika Perang Asia Pasifik ini, hidup sebuah adat, dimana sebuah keluarga besar harus mengumpulkan harta untuk menanggung biaya pendidikan tinggi seorang pemuda dari keluarga tersebut. Bahkan, ketika yang bersangkutan telah menyelesaikan studinya dan kembali ke desa, keluarga besar akan membuatkan pesta syukuran yang cukup meriah. Perjalanan desa ini untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi jelas masih panjang. Tapi di sini, aku sendiri mulai belajar, bahwa setting alam yang diberikan Tuhan, harus dimaknai secara positif. Buka hasil laut jelas menjadi alasan tunggal mengapa semua sekolah di Adaut dari tingkat SD, SMP, hingga SMA mendadak kosong melompong di minggu itu, Tapi aku percaya, ada rencana, doa, dan pengharapan yang terselip, di antara panen raya teripang, lola, dan agar-agar.

Semoga.


Cerita Lainnya

Lihat Semua