Menjadi Indonesia Di HUT RI ke-68

Bella Moulina 20 Agustus 2013

                “Selain hari sabtu, hari ini hari apa, anak-anak?” seorang ibu guru bertanya kepada siswanya di hari kemerdekaan Republik Indonesia kemarin.

                “Hari mingguuuu...,” begitu kata siswa kelas 3 di suatu siang, serentak dan keras sekali berkumandang di ruangan kelasnya.

 

                Ternyata benar, anak-anak itu lugu sekali. Saking lugunya, membuat saya dan panitia lomba 17 Agustus yang dibuat mendadak itu tertawa terbahak-bahak. Jawaban hari minggu sebagai jawaban dari pertanyaan: Hari apa hari ini selain hari sabtu?, membuktikan bahwa mereka lugu. Berkata-kata sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, tanpa disaring terlebih dahulu. Esensinya adalah, dibalik keluguan itu ada makna yang bisa saya ambil: Oh bahagianya menjadi anak-anak, masih bebas berkata-kata sesuai apa yang ada di pikirannya saat itu.

                Keluguan anak-anak saya di kelas 3 kemarin menjadi warna dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-68 tahun. Mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang turut memeriahkan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dengan berlomba. Acara yang mendadak diinisiasi oleh saya sehari sebelumnya itu disambut bahagia oleh anak-anak. Ketika saya bilang akan ada lomba menyanyi, menggambar, menulis puisi, dan permainan tradisional, mereka bahagia sekali. Meski saya bilang sebelum lomba akan ada pembelajaran IPA terlebih dahulu, itu tidak menyurutkan langkah mereka untuk datang siang harinya.

                Dengan mengikutsertakan anak-anak pada lomba kecil-kecilan ini, saya ingin mereka menyadari bahwa hidup ini penuh kompetisi. Entah mereka sadar atau tidak, entah kapan mereka menyadarinya, saya ingin sedikit upaya membangkitkan minat berkompetisi hadir dalam pikiran mereka. Tidak hanya berkompetisi dalam bidang mata pelajaran dan belajar di kelas, namun juga berkompetisi sesuai kecerdasan dan minat mereka masing-masing. Bahkan saya juga menekankan kepada anak-anak agar tidak melihat perlombaan ini dari sisi siapa yang menang dan kalah. Yang dilihat adalah, semua anak-anak Indonesia bangga dapat merayakan HUT RI ke-68 dengan ceria.

                Melihat keceriaan anak-anak pada lomba 17 Agustus kemarin hati saya sungguh bahagia. Words can’t describe how much I love them. Mereka bisa membuat saya marah dan kesal karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka pun juga bisa membuat saya haru karena keluguan mereka. Mereka membuat saya semakin termotivasi untuk memberikan apa yang saya bisa lakukan bagi mereka, tidak terbatas pada pembelajaran di kelas semata. Mereka membuat saya tersenyum haru saat salah satu anak menulis puisi dengan tema guru dan mencantumkan nama saya disana. Sungguh, tak ada momen yang lebih berbahagia hari itu, ketika kita bisa diapresiasi oleh murid dalam bentuk puisi. :’)

                Berikut puisi yang ditulis oleh Rival Dalle, seorang anak yang tertahan di kelas 3, dan kini potensi belajarnya cukup melejit, meski ia suka melamun di kelas, hidup di sebuah rumah berbahan baku pohon lontar dan makan nasi kosong:

 

 

                Bahagianya lagi, kemarin saya dibantu oleh anak-anak kelas 4, 5, dan 6, siswa SMP, dan 2 pemudi yang notabene masih SMA dan punya semangat juang tinggi untuk belajar dan berbagi. Acara yang sangat mendadak itu (berulang kali saya tulis bukan?) dibriefing oleh saya beberapa menit sebelum acara dimulai. Saya memberi tahu ini itu. Dengan rendah hati, saya katakan saya minta tolong kepada mereka. Acara ini acara bersama, kerja kolektif agar anak-anak bisa merasakan indahnya merayakan ulang tahun negaranya. Saya katakan kepada panitia acara saya tidak bisa memberikan apa-apa sebagai imbalannya, kecuali satu roti seharga Rp. 500,00 dan ucapan terima kasih saya kepada mereka. Di jaman yang serba dinilai dengan uang oleh orang lain ini berbanding terbalik pada mereka. Kerja ihklas dan cerdas, itulah yang saya lihat dari Serly, Devi, Reti, Nana, Stevi, Rani, Evan, Yuni, Deliana, Ivan, dan Ika. Mereka lebih berbahagia, terlebih lagi pada Devi, siswi SMA yang tinggal satu atap dengan saya. Ia mengatakan ia semakin termotivasi menjadi guru, ia terinspirasi oleh Serly, kakak kelasnya di SMA yang turut membantu saya kemarin, atas keberanian dan kesungguhan Serly dalam berinteraksi dengan anak-anak.

                Kerja kolektif ini juga dibantu oleh bapak kepala sekolah saya, Bapak Johannis. Kemarin beliau membuka acara lomba dengan sederhana, dengan kalimat-kalimat sakti yang beliau lontarkan agar memotivasi 25 anak saya yang hadir pada saat itu (murid saya berjumlah 28 orang). Beliau adalah sosok kepala sekolah yang bagi saya sangat langka ditemui. Sikap seorang pemimpin sangat menonjol dari beliau. Pernah suatu hari ia berkata kepada saya seperti ini: “Kalau bukan kita yang menjemput bola, lalu kapan kita akan maju?” Sebuah pernyataan yang nyelekit dan menampar muka saya. Selama ini, saya suka menunggu bola datang, kenapa tidak mulai sekarang saya yang harus lebih giat menjemput bola?

                Bahagia itu sederhana. Ketika melihat usaha kita menginspirasi orang lain untuk bergerak. Ketika apa yang kita lakukan memberikan perubahan. Dan ketika apa yang kita lakukan tidak sendiri, tidak sia-sia. Inilah yang ditanamkan oleh Indonesia Mengajar kepada Pengajar Muda. Bergerak dengan melibatkan anak-anak, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan stakeholder adalah bagian penting. Tentu ini tidak mudah, saya harus melewati jalanan terjal agar semua komponen ikut serta. Terlebih lagi pada semangat saya yang harus dipompa sedemikian rupa agar ia tidak down. Tantangan semakin besar, meski saya berada di sebuah tempat yang kata teman-teman satu tim adalah tempat dengan akses termudah, justru saya merasakan bahwa saya sangat tertantang disini, masih banyak yang harus dikerjakan selama 10 bulan ke depan.

                Well, 68 tahun sudah Indonesia merdeka. Sebagai pemuda bagian bangsa ini, tidak patut bagi saya mengecam kegelapan tanpa berbuat apa-apa. Tidak patut bagi saya berceloteh dan mengeluh bahwa bangsa ini kian terpuruk, tidak makmur seutuhnya, dan akan lama sejajar dengan negara maju. Yang harus saya lakukan adalah, mengajak semua turun tangan. Bahwa Indonesia akan besar bukan karena mereka yang berada di dalam kedudukan saja, namun bergantung pula pada karakter dan kerja keras masyarakatnya untuk mengubah bangsa ini keluar dari kegelapan.

                Sungguh, harapan saya satu. Sederhana sekali. Saya tidak ingin melihat ada masyarakat di negeri ini yang makan nasi kosong lagi. Entah kapan ini akan terealisasi. Semoga jika kalian yang membaca catatan saya ini dan masih ingat bahwa saya pernah menuliskannya, dan kalian melihat tidak satupun rakyat Indonesia yang makan nasi kosong di masa depan, tolong beritahu saya, agar saya semakin bangga menjadi Indonesia. :’)

              


Cerita Lainnya

Lihat Semua