12 km Untuk Ilmu

Bella Moulina 16 April 2014

                “Ibu benar mau naik oto bareng katong?”, tanya anak saya suatu hari.

                “Iya, nanti tunggu ibu sebentar ya. Ibu mau beres-beres dulu, nyiapin pakaian untuk berangkat,” jawab saya yakin.

                Begitulah pembicaraan saya dan siswa kelas 3 yang tinggal di Leli beberapa waktu lalu. Saya memutuskan untuk merasakan sensasi menumpang oto (dalam bahasa Rote artinya mobil) atau motor yang lewat di depan sekolah saya. Yup, di 3 bulan terakhir ini saya malah ingin terus naik truk, nebeng dengan kendaraan yang lewat, yang bersedia menumpangi saya dan anak-anak.

                Leli, adalah daerah tempat tinggal siswa saya yang letaknya jauh dari sekolah. Ya sekitar 6 km, jika mereka pulang pergi maka mereka menghabiskan 12 km. Di Leli terdapat lebih dari 10 siswa, itu sudah termasuk siswa kelas I hingga kelas VI. Mereka terbiasa bangun pagi agar bisa menunggu oto atau motor yang lewat di tepi jalan, yang sudi berbaik hati mnumpangi mereka.

Tapi ada kalanya mereka harus rela berjalan kaki setiap pagi sejauh 6 km. Sayangnya mereka sering terlambat ke sekolah karena lama berjalan. Ini kadang bikin saya berada di dua sisi berbeda, antara sedih dan kesal. Sedih karena mereka tidak mendapatkan tumpangan dan membuat mereka harus jalan kaki. Kesal karena mereka terlalu asyik menunggu dan ketika matahari sudah naik, mereka baru berjalan dari tempat tersebut ke sekolah, yang membuat mereka tidak datang tepat waktu.

Untuk apa mereka rela melakukan itu? Untuk mencari ilmu dari guru, suatu bekal di masa depan yang kelak akan berguna bagi mereka. Pernah saya bertanya kepada siswa saya apa tidak capek melakukan aktivitas seperti itu setiap hari, jawabnya: “Katong pung mimpi harus tercapai dengan giat belajar. Katong harus belajar di sekolah dengan bapak ibu guru.”

Atau pertanyaan lain seperti ini: “Kenapa bosong telat terus na? Ibu sedih sekaligus kesal melihat bosong terus yang telat.” Jawaban mereka membuat helaan nafas panjang pada diri saya, “Sonde dapat oto, Ibu.” Ditambah lagi muka anak-anak yang menjawab lugu dan jujur makinlah bikin hati saya luluh.

Maka dari itu, sejak pertengahan Maret lalu saya memutuskan untuk naik oto bareng siswa setiap saya ingin pergi ke ibukota kabupaten. Meski jarak daerah penempatan dan ibukota kabupaten hanya 15 menit, tapi saya ingin merasakan hidup anak-anak saya yang berjuang 12 km setiap harinya untuk mencari ilmu. Jadi sungguh saya menikmati pengalaman baru ini.

Menunggu oto lewat di depan sekolah sama seperti menunggu seseorang di masa depan. Tidak pasti kapan datangnya. Supaya tidak ketinggalan oto, saya harus bergegas beres-beres di rumah, lalu sholat Dzuhur dan berjalan ke depan sekolah, kemudian bergabung dengan anak-anak sambil melambaikan tangan kepada oto yang lewat. Aktivitas itu pula yang saya lakukan kemarin siang.

Kemarin siang saya bersama Windy, Kesya, Fera, dan Martha menunggu oto. Ada pula siswa kelas V dan VI yang masih belum beranjak dari sekolah, pada akhirnya bergabung bersama kami. Kami menunggu hampir 2 jam lamanya. Ini membuat saya tidak enak dengan anak-anak saya, karena mereka menunggu saya sebelum pulang. Dalam penantian oto tersebut, kami bercerita dan bermain.

Tepuk Ampar-ampar Pisang dan permainan Inji-injit Semut jadi idola anak-anak ketika menunggu oto. Saya diajak, dan saya tertawa bersama mereka. Sungguh kebahagiaan bagi saya melihat mereka tertawa ceria di usia anak-anak yang memang seharusnya mereka rasakan. Terkadang saya meneriaki mereka berkali-kali untuk tidak duduk di tepi jalan. Karena oto atau motor sering lewat di depan sekolah (sekolah saya terletak di tepi jalan) dengan kecepatan tinggi, dan anak-anak malah duduk di tepi jalan.

Setelah hampir 2 jam mengisi aktivitas menunggu oto, akhirnya oto yang dinantikan datang juga. Kloter pertama adalah Kesya dan Fera. Saya menyuruh mereka dahulu agar saya dan beberapa anak lainnya dapat menyusul di oto yang masih lengang penumpangnya. Di sisi lain mereka juga harus mencari telur paskah pada jam 2. Beberapa menit kemudian akhirnya oto lewat lagi, saya, Windy, dan Martha naik. Kami duduk di belakang bersama barang-barang di oto yang berisikan sayuran dan bahan makanan. Diketahui oto tersebut akan berangkat menuju Rote Barat Laut siang tadi. Untuk ke kecamatan itu harus melewati ibukota kabupaten, jadi saya pun bisa menumpang.

Perjalanan 15 menit terasa begitu cepat. Pemandangan di tepi jalan juga indah. Laut biru, langit bersih dengan awan putih, bukit nan hijau dengan pepohonan damar dan lontar, sungguh perpaduan sempurna ciptaanNya. Suatu pemandangan yang akan sangat jarang saya temukan jika masa tugas sebagai pengajar muda ini akan berakhir 2 bulan sejak sekarang.

Kini, makna 12 km itu membuat saya lebih mengerti. Mereka rela menunggu oto atau berjalan kaki demi ilmu. Sungguh tidak ada alasan bagi kita yang tinggal di perkotaan untuk bermalas-malasan berangkat ke sekolah atau kampus dalam menuntut ilmu. Belajarlah dari siswa saya. Jarak 12 km untuk ilmu bukan jadi penghalang.


Cerita Lainnya

Lihat Semua