Kisah Kami

Bayu Persada 13 Februari 2011
3 Februari 2011 Ini adalah kisah kami. Kisah tentang anak-anak di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Jauh dari kemajuan dan modernitas. Di mana kehidupan berjalan agak lambat. Walau dengan segala keterbatasan, desa ini tak pernah berhenti bergeliat. Meski gerakannya lambat, hasilnya kerap tak tertebak. Ini adalah kisah kami. Kami sangat dekat dengan alam. Apalagi dengan matahari. Sinarnya menjadi sahabat dekat kulit-kulit kami. Ia menjadikannya indah dan berwarna. Memang tak seindah pelangi, tapi kami tahu Tuhan punya maksud besar menjadikan kami anak-anak desa ini. Laut juga menjadi teman setia di kala sendu. Dia menjadi satu dari sedikit penghibur kami di sini. Tak peduli badan kami bau keringat, dia tetap menerima kami apa adanya. Dia membasuh kami dengan kehangatan. Meski laut kami tak seindah lautan lain yang kadang kami lihat di TV, kami tak pernah kecil hati. Teman setia selalu di hati, bukan? Kami punya banyak sekali saudara. Saudara kandung dan sepupu. Kebanyakan keluarga di sini punya lebih dari tiga anak. Kadang, kalau ditanya punya anak berapa oleh tamu, Bapak selalu menjawab sambil sedikit tertawa, “Baru tiga” atau “Masih empat”. Orang tua kami tidak kaya. Bagaimana mau punya banyak uang kalau kerjanya sehari-hari tak menentu. Kebun selalu menjadi tonggak penentu kehidupan keluarga kami. Tentu juga lautan, teman setia kami yang selalu menjaga ikan-ikan di dalamnya. Kadang-kadang, Bapak bekerja memotong kayu atau bekerja bangunan membangun rumah tetangga atau sekolah. Hasilnya lumayan buat beli buku tulis dan pena. Ibu membantu Bapak mencari nafkah dengan membuka warung dan membuat kue. Kami sering membantu beliau menjualkannya sebelum berangkat dan sepulang sekolah. Keliling desa untuk mencari pembeli. Dari berjualan, kami belajar. Berjualan memang ada naik turunnya. Kalau lagi beruntung, jualan kami habis. Tapi tak jarang pula, kami hanya mendapat lima ribu rupiah saja walau sudah berkeliling dua desa. Tak apa, yang penting bisa membantu Ibu di rumah. Kami yakin orang tua kami sangat sayang dengan kami. Kami tahu memang mereka tak membesarkan kami dengan boneka, mobil-mobilan, atau sepeda kecil. Dari kecil, kami diajarkan disiplin dengan cara yang keras. Tak jarang mereka memakai rotan untuk memberitahu kami mana yang benar dan mana yang salah. Sejak baru bisa berjalan, kami sudah belajar bermain sendiri di jalanan. Dengan apa pun yang kami temui. Batu, tanah, daun, dan tentu air laut. Bahkan karet gelang pun bisa menjadi permainan yang menyenangkan. Sekolah kami tak membebani Bapak dan Ibu dengan biaya sedikitpun. Bapak tinggal mengantarkan kami ke sekolah untuk mendaftar. Saat itu juga, kami sudah bisa masuk kelas dan bertemu dengan teman-teman lain. Di sekolah, kami belajar membaca dan menulis. Juga berhitung. Guru-guru kami membantu kami mengenal huruf dan angka. Seiring bertambahnya umur dan naik kelas, mereka juga mengajarkan kami hal-hal yang tidak kami tahu sebelumnya. Sama seperti Bapak dan Ibu, mereka juga punya senjata rahasia yang bisa dikeluarkan sewaktu-waktu ketika kami enggan mendengar mereka. Kayu tipis sepanjang lengan orang dewasa. Kami percaya istilah yang diceritakan guru-guru kami, ‘di ujung rotan, ada kasih’. Di sekolah, kadang kami tak bertemu guru-guru kami. Tak tahu mereka pergi ke mana. Mungkin mereka punya urusan di luar yang lebih penting daripada mengajarkan kami banyak hal. Kalaupun datang, seringkali kami harus menunggu lama di kelas sampai mereka tiba. Kami tak pernah mengeluh. Buat kami, ketidakdatangan mereka sudah biasa. Kami bisa lepas bermain dengan teman-teman lain. Walau hanya di dalam kelas. Mengobrol, bermain balon, bermain tebak kata, bermain apa saja yang menyenangkan. Selepas pulang sekolah, kami jarang tidur siang. Kalau tidak dipaksa oleh Bapak, kami akan segera pergi bermain bersama teman-teman lain setelah makan siang. Ada saja yang kami lakukan kalau sudah bertemu dengan teman sepermainan. Memanjat pohon untuk ambil jambu. Main bola kecil. Kejar-kejaran juga bisa seru! Bapak sering menghabiskan waktu seharian untuk berkebun. Dari pagi sampai matahari mulai terbenam. Ibu sibuk mengurus rumah dan adik kecil dan juga tentu membuat kue. Oh iya, sekalian menjaga warung! Walau hanya berada di rumah, pekerjaan Ibu banyak sekali. Kami jadi enggan mengganggunya. Lebih baik menghabiskan waktu di luar. Bermain. Kami jarang diberikan PR di sekolah. Jadi kami tak punya beban untuk bermain seharian di luar rumah. Buat kami, waktu di rumah bukan untuk belajar. Belajar ya hanya di sekolah. Bapak dan Ibu juga jarang menyuruh kami belajar. Sesampai di rumah, Bapak sudah lelah dan sepertinya tak bisa diganggu. Mama juga sibuk. Tak ada yang memaksa kami sekedar membuka buku dan membaca. Ah senangnya. Seharian bermain di luar ditemani matahari tanpa istirahat membuat kami cepat lelah ketika malam tiba. Sehabis makan malam, kami mulai mengantuk. Kami akan tidur nyenyak malam ini. Apalagi kalau lampu sedang mati. Bisa-bisa setelah Maghrib, kami sudah ada di alam mimpi. Hawa hangat dari poci berbeda dari lilin mana pun. Walau hanya beralaskan tikar dan berselimut dinginnya malam, tikar ini adalah tempat paling nyaman di muka bumi. Surga kami memang berbeda dengan banyak orang lain di luar sana. --- Itulah kisah kami. Kisah keseharian kami. Kami tak pernah menolak perubahan. Hanya saja, kami butuh bantuan untuk berubah. Dari siapa saja. Kami juga ingin bermimpi yang tinggi. Tapi kami tak tahu bagaimana caranya. Kami tak pernah terpikir akan jadi apa nanti. Kami sadar untuk tak banyak berharap. Tak berani untuk punya impian setinggi awan di angkasa. Kami takut dan kami tidak tahu apa sebabnya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua