info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kami Bisa (Jujur)

Bayu Persada 15 Mei 2011
12 Mei 2011 Beberapa hari menjelang Ujian Nasional di sekolah, saya berbicara pada beberapa guru tentang kecurangan Ujian Nasional yang saya dapati di Madrasah Aliyah. Saya menceritakan semua yang saya tahu sembari menunjukkan fakta-fakta yang saya temukan di lapangan. Pak Malik, Pak On, Pak Arsyad, dan terakhir tentu Pak Amir, kepala sekolah SD kami. Tanggapan mereka rata-rata sama. Sudah mafhum dengan kecurangan yang terjadi. Sudah bertahun-tahun seperti itu dan mereka seperti tak mengekspektasi adanya perubahan. Dengan prolog itu, saya mencoba mencoba mengeluarkan sisi baik pada hati mereka agar anak-anak kami di Sekolah Dasar tidak mengikuti jejak buruk kakak-kakaknya. --- Pak Malik adalah guru yang paling vokal di sekolah. Dia guru yang baik, namun seringkali menggunakan cara yang salah untuk mendidik murid-muridnya. Dibanding guru-guru lain, Pak Malik paling keras dalam mengajar. Tak jarang, dia berteriak untuk ketika mengajar untuk menenangkan murid di kelas. Tak jarang pula menggunakan kata-kata yang kasar. Tak lupa juga menggunakan rotan. Meskipun begitu, anak-anak sangat menghormati beliau. Beliau tidak akan marah kalau mereka tidak berbuat kelewat batas. Lebih dari itu, di hadapan guru-guru, beliau memiliki pengaruh yang cukup kuat. Tak jarang beliau memarahi guru yang sering membolos. Bahkan suatu pagi, beliau pernah mendatangi rumah guru yang jarang masuk sekolah. Pak Malik keras dengan guru-guru yang tidak disiplin. Namun terkadang, cara memberitahunya kurang baik. Itulah yang membuat beberapa guru kurang suka dengan beliau.  Bagaimanapun juga, saya salut pada Pak Malik yang menegakkan kedisiplinan dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, saya memilih ‘jalan masuk’ lewat Pak Malik. Kalau Pak Malik bisa dipengaruhi, saya yakin beliau juga akan memberi pengaruh yang sama pada segenap guru yang lain. Saya meyakinkan beliau bahwa kita sudah cukup membantu anak-anak di Ujian Sekolah. Yang jelas, nilai Ujian Sekolah seperti juga di banyak sekolah lain, mengalami konversi besar-besaran. Sembilan puluh sembilan persen hasil rekayasa. Jadi, nilai berkisar 7 untuk semua murid. Untuk itu, biarkan mereka mendapatkan nilai yang mereka pantas dapatkan di Ujian Nasional dengan kemampuan mereka sendiri. Tak perlu lagi dibantu, tak perlu lagi direkayasa. Biarkan Tuhan dan ikhtiar yang menentukan kelulusan mereka. Pak Malik setuju dengan apa yang saya bicarakan dan berniat untuk menjalankan Ujian Nasional dengan lebih baik. Tugas saya pun menjadi jauh lebih ringan. Tinggal meyakinkan kepala sekolah. Di rumah, saya kembali berbicara empat mata dengan Pak Amir. Untuk meyakinkan beliau, bukan hal yang mudah. Pak Amir termasuk orang yang tertutup. Boleh dibilang, beliau kurang bersosialisasi dengan masyarakat. Entah apa sebabnya, Pak Amir seperti membuat ‘pagar tinggi di depan rumah’. Oleh karena itu, saya bercerita lebih serius dan menggebu-gebu untuk meraih perhatian beliau. Pak Amir bercerita bahwa pelaksanaan ujian nasional yang sudah-sudah memang ada kecurangan dari pihak sekolah untuk mengganti jawaban peserta ujian. Menurutnya, jika tidak dibantu, kemungkinan mereka lulus amat kecil. Sekolah membuat kunci jawaban sendiri untuk kemudian digunakan untuk membenarkan jawaban anak-anak. Dalam pikiran saya, tidak separah yang saya temui di Madrasah Aliyah. Setidaknya, murid tidak dilibatkan dalam kecurangan itu. Kecurangan dalam bentuk apa pun tetap saja haram dilakukan. Saya pun mencoba mengambil rasionalitas dari pikiran beliau tentang ‘bantuan’ di Ujian Sekolah tiga minggu yang lalu. Bantuan yang diberikan sekolah sudah lebih dari cukup untuk membantu siswa-siswa. Bayangkan saja, seminggu penuh ujian tertulis dan praktek hanya dijadikan formalitas. Nilai asli tidak berpengaruh sama sekali. Semua hasil nilai siswa diganti dengan nilai ‘suka-suka’ kepala sekolah. Setelah saya berbicara panjang lebar, beliau mulai menangkap maksud saya dan Alhamdulillah, terbesit niat untuk berubah. Pak Amir tetap menegaskan bahwa tidak mungkin menghilangkan sama sekali bantuan dari sekolah. Bagaimana kalau ada siswa yang salah menulis nama, tanggal lahir, atau lupa membubuhkan tanda tangan. Maklum, siswa-siswa di sini memang sering sekali melakukan kesalahan mendasar pada isian biodata. “Pembenaran biodata adalah kecurangan paling minimal yang bisa ditoleransi, Pak.” saya menimpali. Saya bersama beliau soal ini. Artinya, tidak mungkin semua anak dalam tiga hari ujian mengisi biodata dengan benar. Pasti ada saja yang salah, keliru, dan lupa. Di desa Bibinoi, hampir semua anak tidak mengetahui tanggal lahirnya sebelum diberitahu kepala sekolah. Wajar seandainya presentasi kesalahan pengisian data ini amat tinggi. Ditambah lagi, data peserta ujian yang sudah salah dari Diknas Kabupaten. Nama peserta saja salah. Untuk mencari aman, anak-anak harus mengikuti nama di data peserta tersebut walaupun mereka tahu penulisan nama mereka bukan seperti itu. Contoh, Ledi Diana Dodengo ditulis Ledi Diana Kakanok pada data peserta. Agak beresiko untuk tetap menulis nama asli anak di lembar ujian. Walaupun demikian, jika nanti mereka lulus, maka pengisian ijazah bisa disesuaikan dengan nama asli yang benar. --- Pada Ujian Nasional tahun ini, SDN Bibinoi menyelenggarakannya di sekolah sendiri. Tahun-tahun sebelumnya, anak-anak diberangkatkan ke SD di desa lain yang masih satu kecamatan. SDN Tabapoma juga ikut bergabung di Bibinoi. Sedang beberapa SD lain, menyelenggarakan ujian sendiri di Desa Songa. Jadwal pengawas sudah dibuat oleh Pak Amir dengan kombinasi guru dari kedua SD tersebut. Ada empat guru dari SDN Tabapoma dan sebelas dari Bibinoi. Pada awalnya, saya ditugaskan mengawas hari pertama saja di ruang I. Namun, Pak Malik menentang jadwal pengawas tersebut. Dia meminta Pak Amir untuk memberi hak saya mengawas seluruh ruangan. Pak Malik menegaskan bahwa saya harus bertugas meminimalisasi kecurangan yang mungkin terjadi di tiga ruangan yang ada. Jangan sampai ada guru yang membantu peserta ujian. Saya pun menerima dengan senang hati tugas tersebut. Pak Amir berbisik, “Kita mau cari yang murni ya, Pak Bayu.” Itu mungkin adalah perkataan paling bijak dari beliau selama saya mengajar enam bulan di SD. Dalam prakteknya, walaupun sudah beberapa kali diingatkan sebelum masuk ruangan, tetap saja masih banyak peserta ujian yang salah mengisi biodata. Biodata ini sangat krusial. Jika data tidak cocok atau masih belum terisi, akan beresiko tinggi bagi kelulusan mereka. Maka dari itu, kepala sekolah dan beberapa guru kembali memeriksa lembar jawaban peserta untuk membenarkan jika ada yang salah isi. Saya tidak mau dilibatkan dalam hal ini. Biarkan hal tersebut menjadi tugas mereka. Yang terpenting, tidak ada campur tangan atau rekayasa dari pihak sekolah dalam pengubahan jawaban siswa. Suatu pagi sebelum anak-anak masuk ruangan, Pak Amir berkata tegas di depan anak-anak, “Sekolah sudah membantu banyak di Ujian Sekolah kemarin. Sekarang, sekolah tidak bisa bantu apa-apa lagi. Kalian harus berusaha sendiri untuk lulus. Kalau memang tidak lulus, maka kalian harus belajar lagi di SD ini satu tahun.” Saya pun menambahkan, “Kejujuran adalah yang paling utama. Jadikan ujian ini sebagai yang terakhir selama kalian belajar di SD. Setelah ini, simpan seragam dan celana merah kalian. Ganti dengan seragam berwarna apa?” Mereka serentak menjawab, “Biruuu!” “Mari kita sama-sama berdo’a semoga Tuhan melancarkan apa yang kita kerjakan”. Jadilah suasana khidmat berdoa dari semua murid. Beberapa anak yang biasanya main-main saat berdoa, kini menundukkan kepala dengan raut wajah yang pasrah. --- Ujian Nasional sekolah kami sudah berakhir. Sejauh yang saya lihat, penyelenggaraan ujian ini cukup baik meski harus disadari perlu banyak perubahan. Jelas masih ada kekeliruan di banyak sisi. Namun, saya sadar bahwa ini adalah kejujuran maksimal yang bisa kami perbuat. I did my best and I am still doing the best I can. Harapan ke depan tentu tidak perlu ada lagi bantuan sekecil apa pun dari pihak sekolah. Tidak hanya di Ujian Nasional, tapi juga di Ujian Sekolah. Supaya Ujian Sekolah tidak hanya ajang buang-buang waktu dan biaya. Agar hasil Ujian Nasional murni seratus persen milik anak-anak sendiri. Akhirnya, kelulusan tidak menjadi hal wajib sebagai hadiah dari sekolah. Kelulusan akan dihargai tinggi dan dicapai dengan perjuangan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua