info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Halmahera, Sebuah Cerita

Bayu Persada 4 Januari 2011

17 November 2010

Like I said, I’ve never been easy with farewell. Anyway, siapa yang mudah melepaskan teman-teman terbaik? Saya rasa manusia yang punya hati pasti sulit. Mengutip judul lagu Editors, ‘Even End Has a Start’. Kasarnya, kalau tak mau berpisah, ya jangan bertemu. For the last two months, I’ve been going through a lot of farewell. Tapi saya amat yakin, kami berpisah untuk sesuatu yang amat mulia. Pengabdian. Atau mengutip Abah Iwan Abdurrachman, kehormatan. Saya sering berkata pada teman-teman bahwa satu-satunya lagu Indonesia Raya yang pernah saya nyanyikan dengan sangat khidmat dan hati menyatu adalah saat menyaksikan timnas Indonesia bertanding di Piala Asia tahun 2007. Saat itu, stadion terasa bergetar. Saya hampir menangis dan haru. Air mata tak sempat keluar disumbat semangat membara meneriakkan dukungan pada pahlawan lapangan hijau Indonesia. Sekarang, saya akan menceritakannya berbeda. Ada dua momen di mana Indonesia Raya bergemuruh di hati dan pikiran. Intens dan memacu jantung. Semua tim Indonesia Mengajar dan para Pengajar Muda berkumpul di depan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Acara pelepasan para Pengajar Muda ke lima kabupaten dibuka dengan nyanyian Indonesia Raya. Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku. Mata saya memang menghadap ke depan. Namun, bukan kerumunan orang yang lewat, mobil yang menepi, atau lampu-lampu yang meredup yang saya lihat. Saya melihat Indonesia yang sebenarnya. Indonesia yang penuh optimisme dan harapan. Indonesia yang sedang melangkah dan berubah. Entah, saya juga melihat lautan dan ombak. Mungkin merekalah yang akan membawa saya ke hadapan anak-anak di timur Indonesia. Sebuah desa kecil di Maluku Utara, kabupaten Halmahera Selatan. Desa Bibinoi. Suara isak tangis mulai terdengar. Inilah saat terakhir kami, para Pengajar Muda dan tim Indonesia Mengajar, bertemu sebelum berkumpul kembali tahun depan. Saya berusaha menahan haru. Saat ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Simpan air matamu untuk berpisah dengan masyarakat desa tahun depan. Mungkin kita tak akan bertemu lagi dengan mereka. Segala kisah manis hanya akan tersimpan hangat dalam memori. Dengan para Pengajar Muda? Kami akan kembali bertemu tahun depan Insya Allah dengan perasaan luar biasa bahagia. Mampu membawa perubahan, biarpun sekecil apa pun, di desa-desa terpencil di lima kabupaten di Indonesia. Kami akan menangis bahagia dan berpelukan hangat selayaknya sahabat yang sudah lama terpisah. Kami akan bercerita banyak hal yang tak akan habis dibicarakan tujuh hari tujuh malam. Pesawat yang akan membawa tim Halmahera Selatan ke Ternate berangkat paling pagi, jam 5.40 WIB. Setelah bersalaman dengan para pengurus yayasan dan berpelukan dengan beberapa teman, saya dan tim beranjak masuk Airport. Pesawat Garuda Indonesia ke tanah Maluku masih menunggu kami di terminal F5. Status pesawat sudah menunjukkan ‘Boarding’. Kami bersepuluh ditemani Pak Hikmat, Direktur Operasional Gerakan Indonesia Mengajar dan Mas Susilo sudah berada di pesawat. Tempat duduk kami berdekatan dalam dua baris. Pesawat sebentar lagi tinggal landas. This is it. Our time to show the world what we’ve been doing for the past two months and prove it to those who believe in us. Sekitar tiga jam perjalanan Jakarta-Ternate, pesawat terus berada di awan. Pilot menjaga kestabilan seperti kami yang juga menjaga niat kami. Di pesawat yang mewah ini, mungkin tak akan terbayang kehidupan di desa, bersama masyarakat yang sangat bersahaja. Tapi bayangan itu semakin jelas seiring pesawat yang kian melaju cepat mendekat ke tujuan. Transit di Bandara Sam Ratulangi, Manado, membuat saya pertama kali menjejakkan kaki di tanah Sulawesi. Not literally, of course. Kita tak keluar bandara. Hanya makan pagi menjelang siang dengan harga luar biasa. Nasi kuning dihargai 30 ribu dan mie rebus 20 ribu. Mewah? Tak tahu lah. Waktu transit hanya 45 menit. Banyak dari kami belum menyelesaikan makan namun petugas sudah memperingatkan kalau pesawat akan segera berangkat. Pesawat pun lepas landas kembali meninggalkan pahlawan Sam Ratulangi menuju seorang Raja Ternate, Sultan Baabulah. Perjalanan Manado-Ternate hanya ditempuh dalam waktu 50 menit dengan Boeing 737 ini. Saya tak banyak tertidur selama kurang lebih 4 jam perjalanan. Tidak seperti rekan-rekan yang lain. Padahal waktu tidur kami sebelum berangkat dapat dihitung dengan satu tangan. Akhirnya kami sampai di Bandara Sultan Baabulah, Ternate pukul 12 siang. Sudah terasa teriknya matahari Maluku di sana. Untung saja ada shuttle bus dari pesawat ke tempat pengambilan bagasi. Bandara ini luar biasa … kecil. Terkesan kumuh untuk ukuran bandar udara provinsi. Mungkin lebih tepatnya seperti salah satu bagian Terminal Kampung Rambutan. Terima saja, this is the best we could get. Bu Poni, fasilitator kabupaten kami, sudah menunggu di bandara. Setelah mengambil semua barang, kami langsung beranjak pergi ke hotel dengan tiga mobil sewaan. Provinsi Maluku Utara masih muda, berdiri tahun 2003. Secara umum, infrastruktur kota sudah cukup lumayan. Jalanan sudah mulus. Namun sepertinya masih harus banyak perbaikan di sarana dan prasarana umum, contohnya bandara. Hotel yang kami tempati cukup lumayan. Lupa namanya, yang jelas sangat layak untuk beristirahat. Kami hanya akan beristirahat sebentar di hotel ini. Sekitar jam 8 malam, kami harus ada di Pelabuhan Bastiong untuk melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Babang di Pulau Bacan. Setelah beristirahat sejenak, kami pergi makan siang. Supir mengarahkan kami ke kantor polisi. Buat apa, pikir saya. Apa perlu kami meminta izin dulu ke kantor polisi untuk kegiatan ini. Ternyata, oh ternyata. Rumah makan itu terletak persis di sebelah kantor polisi. Tak akan terlihat dari luar kalau tidak masuk ke lapangan parkir kantor. Kantor polisi ini terletak dekat sekali dengan dermaga pelabuhan yang saya lupa juga namanya. Kata ibu pemilik rumah makan, penyiapan ikan ini lumayan lama. Setelah memilih ikan yang akan dimasak, kami berjalan-jalan ke dermaga. Dari dermaga terlihat pemandangan luar biasa. Pulau-pulau hijau dipisahkan lautan biru. Ini baru namanya negara kepulauan. Cerminan Indonesia. Banyak orang mendayung sampan sambil memancing ikan. Lihatlah gambar mata uang 1000 rupiah. Kami sangat beruntung mendapatkan lansekap yang sangat mirip dengan gambar itu. Seorang nelayan menjaring ikan di sebuah sampan kecil dengan latar belakang Pulau Maitara dan Tidore. Awesome! Saat kembali ke rumah makan, ikan sudah tersaji lengkap dengan bumbu asam manis. Selera makan kami langsung beranjak dan tak butuh waktu lama untuk kami menyisakan tulang-tulang ikan itu. Pemandangan yang apik dan makanan yang ciamik. Alamak. Ba’da Maghrib, Tim sudah bersiap menuju Pelabuhan Bastiong dengan mobil sewaan tadi siang. Barang bawaan kami banyak. Sangat banyak. Rata-rata, setiap orang membawa tiga tas besar dan tiga kardus. Memang ingin pindahan. Sesampainya di pelabuhan, kami menemukan lautan. Lautan yang berbeda, lautan manusia. Pelabuhan penuh sesak. Ada tiga kapal besar yang siap berangkat. Pantas saja. Menurunkan barang saja membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Setiap tim punya jatah tugas masing-masing. Ada yang menurunkan barang, menjaga barang, atau mencari tempat di kapal. Kami memang sudah memesan tempat di kapal. Tapi kalau situasi sepenuh ini, persetan dengan tiket. Tipikal. Oleh karena itu, tim tak mau ambil resiko dengan mengamankan kamar-kamar yang sudah dipesan. Menaikkan barang lebih heboh lagi. Kamar kami ada di paling atas. Sesuai kelasnya. Ada dua tingkat anak tangga yang harus dilalui dengan koper dan tas yang super besar. Untung saja tim Halmahera ini tak pernah kekurangan kekuatan. Sesampainya di kamar, saya cukup terkejut. Kamar yang akan kami tempati sangat nyaman. Tak disangka untuk ukuran kapal yang kalau dilihat dari luar, seperti kapal feri ekonomi. Persis seperti yang sering saya tumpangi saat backpacking. Wuih, ini sih VVIP. Pak Hikmat dan Mas Susilo mendapat jatah kamar presiden, dengan AC. Kami kedapatan yang biasa saja, pakai kipas angin. Kamarnya berukuran 2 x 1,5 m dengan dipan bertingkat dan satu lemari. Sangat lumayan untuk menghabiskan malam dengan tidur nyenyak. Yah, kalau mau melihat situasi sebenarnya di penyebrangan ini, bisa melihat sendiri ke lantai bawah. Khas kapal ekonomi. Manusia sudah seperti ikan yang dijual di pasar. Bergelimpangan ke sana ke mari tak tentu arah. Yang penting kaki bisa selonjor dan tidur tenang. Tarif kamar ini 200 ribu untuk satu orang. Harga yang haram bagi backpacker seperti saya untuk angkutan antar pulau. Najis mugholadzoh, istilah kerennya. Ini sih namanya rejeki. Selagi ada Bapak Direktur, pastilah semua akomodasi kelas satu. Kapal akhirnya merapat di dermaga Pelabuhan Babang sekitar pukul 5 pagi. Sekitar 9 jam kapal ini melaut. Kami sampai juga di Kabupaten Halmahera Selatan. Tinggal sejengkal lagi menuju desa-desa penempatan. Di pelabuhan, kami sudah ditunggu oleh Kepala Diknas Pendidikan, Pak Barjo, dan beberapa staf kantor bupati. Tujuan kami selanjutnya adalah Labuha, ibukota kabupaten Halmahera Selatan. Kota pesisir yang katanya cukup maju. Selama kurang lebih 30 menit perjalanan dari Babang ke Labuha, saya banyak melihat tanah-tanah kosong yang ditumbuhi tanaman liar dan hanya beberapa rumah sederhana. Pertanda belum banyak pengembangan potensi di kota ini. Tim menginap di Wisma Raudhah di Jalan Pasar Lama. Hanya berjarak 20 meter dari pantai. Acara utama kami hari itu adalah menghadiri penyambutan resmi di kantor bupati. Tak banyak waktu istirahat, hanya 1 jam, sebelum berangkat jam 8 WIT. Di kantor bupati, kami disambut oleh beberapa pejabat publik setempat. Acara dilangsungkan di hall pertemuan persis di depan kantor. Sayang, bupati tak sempat hadir berhubung sedang masa transisi kepemimpinan. Muhammad Kasuba, calon inkumben, terpilih lagi untuk menjabat satu periode ke depan. Ya sudah, kami maklum saja. Para Pengajar Muda bertemu dengan kepala sekolah SD yang akan kita datangi. Interaksi pertama mencari informasi dimulai. Kebanyakan, kami akan tinggal di rumah kepala sekolah. Kondisi sekolah pun sangat beragam walau sebagian besar sudah cukup baik dari segi bangunan. Permasalahan utama adalah minim guru. Kalaupun ada cukup guru tercatat, yang sering masuk bisa dihitung jari. Duh. Acara penyambutan hari itu ditutup oleh sambutan Pak Sekretaris Daerah dan foto bersama beberapa tokoh daerah, seperti petinggi TNI dan Kapolda. Kami menghabiskan waktu dengan santai dan hura-hura mengingat sudah tidak mungkin lagi berangkat ke desa-desa penempatan hari itu juga. Makan siang lalu kembali ke wisma. Menunggu sore di wisma sambil menanti acara utama hari itu, sunset di pantai! Ajakan Bu Poni, atau kami lebih sering menyebutnya dengan Ummi, untuk pergi pasar ikan dekat pantai Swaring langsung kami iyakan. Pisang goreng, kerupuk ikan, dan bandrek pun menjadi teman setia kami menunggu sang surya tenggelam. Bersama teman-teman seide dan seperjuangan, sunset kali ini terasa jauh berbeda. Senda gurau, canda tawa, dan foto-foto bersama mengisi sore kami. Ah, refreshing yang pas untuk kesendirian yang dimulai esok hari. to be continued

Cerita Lainnya

Lihat Semua