Halaman Belakang
Bayu Persada 24 April 2011
10 April 2011
Sesuatu yang sudah menjadi hobi, kegemaran, or we may say, passion, membuat kita bisa terus menikmati hidup. Salah satu kegemaran saya adalah traveling. Tak berbeda dengan kebanyakan orang yang suka melancong, jalan-jalan, backpacking, you name it. Buat saya, apa pun pekerjaan yang sedang dilakukan, porsi untuk menyalurkan hasrat melakukan perjalanan harus disediakan. Walaupun terkadang perjalanannya sulit sedang kondisi segala sesuatunya yang juga tidak mudah, tidak masalah. Karena jika sudah ada hati yang terlibat pada suatu hal, semua hal di dunia ini bisa dikompromikan.
Hari ini pun tak beda. Ajakan pergi ke air terjun di bukit belakang desa oleh Adhi dan anak-anak madrasah sulit sekali ditolak. Saya tak punya persiapan, sama sekali. Padahal jarak menuju lokasi jauh sekali, untuk ukuran saya, 5 kilometer jalan kaki. Dengan persiapan yang minim dengan ketidaktahuan medan yang akan dihadapi, keputusan impulsif ini rentan membawa resiko.
---
Tak banyak bekal yang saya bawa. Hanya beberapa bungkus biskuit kecil, sekantung kerupuk, sebatang cokelat, dan sebotol air minum. Ditambah satu setel baju ganti, tas saya sama sekali tak terasa berat. Paling hanya kamera yang beratnya signifikan. Saya pun tak terpikir untuk memakai sepatu. Memakai kaos, celana training, dan sendal selop membuat saya berpikir apakah saya terlalu menganggap enteng perjalanan ini.
Buat anak-anak di sini, berjalan jauh tidak menjadi masalah. Mereka sudah terbiasa menemani orang tua mereka pergi ke kebun yang jaraknya berkilo-kilo dengan medan menanjak, curam, bahkan melawan aliran sungai. Lebih dari itu, mereka kerap menginap di hutan untuk menjaga kebun dari serangan yakis atau monyet. Jadi, sangat wajar kalau memang anak-anak di sini sangat tahu luar dalam hutan dekat desa mereka.
Saya mengajak kakak beradik, Safri dan Munarsi, untuk ikut bersama rombongan anak-anak madrasah. Melihat saya mengepak tas, Ul bertanya, “Pak Guru mau pigi tejun? Tong ikut ya?” Saya agak tidak yakin mengajak Ul. Belum tentu Pak Amir mengijinkan. Biar saja, saya mengiyakan Ul untuk ikut dan menyuruhnya bersiap-siap. Dengan cepat, dia mengambil kantong kresek dan mengisinya dengan baju kering. Seketika, dia berkata, “Tong su siap, Pak Guru!” Saya tersenyum heran.
Ul tidak memakai sendal. Saya bertambah heran. Bagaimana mungkin berjalan jauh begitu tanpa alas kaki. Ul punya argumen kuat, dia sudah biasa. Melihat kami berempat berjalan ke rumah Pak Budi, Sukran ingin ikut juga dengan rombongan. Saya pun kembali mengiyakan. Tanpa persiapan apa pun, dia langsung ikut berjalan dengan kami.
Kami berkumpul di rumah Pak Budi. Beliau memperingati anak-anak bahwa medan yang akan ditempuh cukup berat sehingga mereka tidak boleh berpencar. Harus selalu berkumpul dalam barisan. Tak lama Pak Budi memberikan arahan, kami sudah siap berangkat. Anak-anak sudah membawa makanan masing-masing. Rencananya memang kami akan makan siang di bawah air terjun. Ingin rasanya cepat ke sana tanpa harus berjalan. Manja.
Satu kilometer pertama perjalanan tidak terlalu terasa. Belum terlalu masuk ke dalam hutan. Masih dekat pemukiman warga. Dan juga masih banyak orang yang sedang berada di kebun-kebun mereka. Namun, semakin lama, perjalanan bisa dibilang, lebih sulit. Udara sudah mulai lembab akibat hujan deras sehari sebelumnya. Jalanan agak berlumpur. Membuat sendal sering lengket dengan tanah. Jadi agak menyesal tidak memakai sepatu.
Akhirnya kami sampai di aliran sungai pertama. Airnya jernih sekali. Arusnya tidak terlalu deras. Kami harus melewati sungai kecil itu untuk sampai ke sisi seberang. Saya menyempatkan sedikit menghabiskan waktu di sana untuk membasuh wajah dan mengambil napas sejenak. Ini belum seperempat perjalanan.
Saya selalu ditemani Safri dan Munarsi di barisan belakang. Agak takut juga nanti kalau tersesat. Saya sering tertinggal rombongan karena asyik mengambil foto atau berhenti sebentar. Selama ada Safri, sepertinya saya aman. Anak ini berulang kali pergi ke air terjun. Buatnya, trek perjalanan ini adalah makanan sehari-hari. Coba lihat dirinya yang hanya berbekal kaos dan celana pendek yang dipakainya.
Lebih masuk ke dalam hutan, jalanan mulai berliku danbercabang. Sudah penuh rimbun pepohonan dan terdengar suara binatang hutan di sana sini. Mirip acara National Geographic Wild. Sudah sedikit orang yang mencapai daerah sini. Tak banyak orang yang merambah hutan terlalu jauh ke dalam. Hampir dua kilometer lebih perjalanan yang sudah ditempuh. Tinggal setengah bagian lagi.
Burung-burung yang biasa saya lihat di Pasar Burung di Jakarta terlihat mondar mandir ke sana kemari. Mungkin mereka merasa tak nyaman akan kedatangan kami. Burung kakatua jambul kuning, nuri aneka warna, kacer, jalak, bahkan elang pun menampakkan diri. Serangga-serangga aneh khas hutan juga beberapa kali menarik pandangan.
Sampai di sungai yang kedua. Orang-orang di sini menyebutnya, ‘air babunyi’, atau air yang berbunyi. Walaupun alirannya tidak deras, namun gemericik aliran airnya menenangkan. Membuat kita merasakan relaksasi instan. Airnya dingin, mungkin sejuk lebih tepat untuk mendeskripsikan. Tipikal air gunung yang masih alami, bersih, bening, dan sejuk.
Kembali melanjutkan perjalanan, kami menemukan sebuah rumah panggung peninggalan perusahaan swasta yang katanya, dulu pernah mengambil pohon-pohon jati di sini. Memang di daerah sekitarnya, banyak pohon-pohon yang rusak habis ditebang. Perusahaan itu kini sudah tutup dan rumah panggungnya terbengkalai begitu saja. Rumah itu sekarang dimanfaatkaan untuk tempat beristirahat atau bermalam bagi para pekerja kebun.
Kata Pak Fardi, guru MIS, sebentar lagi kita sampai di air terjun. Sudah tiga kilometer lebih kami berjalan. Berarti tinggal sisa kurang lebih satu kilometer. Oh, itu ukuran sebentar bagi dia. Kami masih harus melewati satu lagi aliran sungai.
Saya terlalu tertinggal di belakang. Saya hanya bisa mendengar suara kerumunan di depan tanpa bisa melihat orang-orangnya. Badan sudah mulai terasa lelah. Pak Fardi memisahkan diri dari rombongan untuk menuju kebunnya. Praktis tinggal saya dan Safri di belakang. Safri berkali-kali menolong saya saat hampir terpeleset. Dia dengan sigap memberitahu saya kalau ada jalanan yang licin atau tidak bisa dilewati.
Rintangan terakhir pun tiba. Kami harus melawan arus sungai untuk mencapai ke air terjun. Orang-orang sudah mulai berteriak di depan. Mereka sudah mencapai tujuan. Saya masih harus berjibaku menghadapi arus dan dinginnya air. Walaupun arusnya tidak begitu deras, tetap saja batu-batu di dalamnya sangat licin. Jika tidak cekatan, sangat mungkin terjatuh. Saya tidak cekatan kali ini. Berulang kali mesti merepotkan Safri untuk membantu berdiri.
Akhirnya saya tiba di bawah air terjun. Luar biasa, ekspresi pertama saya saat melihatnya dari kejauhan. Benar-benar tidak menyangka hutan ini menyimpan pesonanya sendiri. Tak heran jika ada kabar Bupati ingin menjadikan lokasi ini sebagai objek wisata. Maklum, Halsel ini minim sekali objek wisata. Padahal saya yakin, banyak keindahan alam yang belum banyak terjamah.
Saya belum mau langsung turun berenang. Masih ingin menikmati jatuhnya air dari bebatuan di bawah. Makan kerupuk dan sambal. Melihat anak-anak bermain air. Sesekali mereka berteriak mengajak saya untuk ikut berenang. Minum air langsung dari air yang jatuh. Saya mendapati indahnya dunia dengan cara yang sederhana.
Lama kelamaan godaan air ini tak mampu ditahan. Saya ikut berenang juga. Harus sangat berhati-hati karena banyak batuan di bawah. Mendekati tempat jatuhnya air, semakin banyak batuan tajam. Puas bermain air dan berfoto, kami melanjutkan kegiatan hari ini dengan makan siang. Karena makanan terbatas, saya hanya makan setengah ketupat dan secuil telur.
Tak berakhir sampai di sana, kami akan melanjutkan perjalanan lagi ke air terjun yang kedua. Harus menguras lagi tenaga menelusuri sungai. Tidak dengan perahu, tapi jalan kaki. Mirip Jejak Petualang tapi dengan cara yang lebih hardcore. Hanya lima belas menit berjalan di aliran sungai, kami sudah bisa menemukan air terjun yang kedua. Dinamakan air terjun kembar karena memang ada dua lokasi jatuhnya air yang saling berdekatan.
Sayangnya, di air terjun kedua ini terdapat pohon besar yang tumbang, melintang menghalangi pemandangan. “Dulu, air terjun ini bagus sekali. Sekarang sudah kotor karena banyak pohon jatuh,” sahut Pak Fardi. Memang benar, banyaknya batang pohon dan ranting yang jatuh membuat saya lebih bisa menikmati air terjun yang pertama. Namun, ini semua tetap tidak mengurangi keriangan kami menghabiskan acara siang itu.
Puas bermain, kami akhirnya harus mengakhiri acara. Matahari sudah semakin bergerak ke arah barat. Mesti segera kembali sebelum terlalu sore. Perjalanan pulang tak kalah lamanya dan tak kalah sulitnya. Apalagi ditambah stamina yang sudah terkuras.
Hujan menemani perjalanan pulang kami. Sudah kepalang tanggung karena basah kuyup, kami tidak jadi berteduh. Menelusuri jejak-jejak perjalanan tadi pagi. Kelompok sudah mulai berpencar dan berjalan sendiri-sendiri. Saya hanya ditemani Munarsi, Safri, dan Pak Fardi. Pak Fardi bercerita banyak sekali siang itu. Saya berhutang banyak pada beliau karena banyak membantu saya selama perjalanan tadi. Ya, saya merepotkan banyak orang.
Surprisingly, perjalanan pulang lebih tak terasa. Aneh. Perasaan belum berjalan begitu jauh, tapi kami sudah sampai di Puskesmas di ujung desa. Meskipun tak terasa, tetap saja badan tidak bisa dibohongi. Lelah luar biasa. Air gunung yang kami bawa akhirnya dihabiskan di perjalanan. Padahal niatnya, saya bawa sampai ke rumah.
Sesampai di rumah, saya kembali merepotkan orang rumah. Meminta dimasakkan mie rebus oleh Ina. Saya minta ijin pada mama untuk memakai air termos yang biasanya untuk minum. Butuh mandi air hangat. Setelah mandi air hangat kemudian makan mie rebus dan teh hangat. Tidak lupa shalat Ashar lalu ditutup dengan hibernasi sampai menjelang Maghrib.
---
Saya beruntung ditempatkan di Bibinoi. God choose me for this not-so-little-village must be for reasons. Mungkin salah satu alasannya adalah alam Bibinoi menawarkan banyak hal untuk saya. Banyak yang bisa dinikmati di halaman belakang desa.
Hari ini, saya bersyukur untuk keputusan Tuhan yang satu ini.
Hari ini, saya mengerti dunia tidak harus dinikmati dengan cara yang rumit dan mahal. Tidak perlu jauh-jauh pergi ke Maladewa atau air terjun Niagara, even one day I’ll definitely go there if there’s a chance and money. Pantai yang cantik dan air terjun yang menenangkan juga ada di desa ini. Memang tidak semewah yang disebut sebelumnya, but it doesn’t make less of the joy.
Hari ini, saya tahu menikmati hidup dengan cara yang sederhana bisa dimulai dengan mensyukuri apa yang ada.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda