Serba-serbi Ali Sapik
Arina Nikma Baroroh 29 Maret 2014Aku ingin memperkenalkan Ali pada kalian semua. Siapakah dia ? Apa yang dia lakukan hingga membuatku merasa harus menceritakannya pada kalian ? Let me tell you about him ...
# Pertama kali aku masuk kelas V, aku meminta anak-anak untuk menggambar wajah, lalu menuliskan nama, hobi, warna, makanan dan minuman favorit. Saat aku di rumah melihat-lihat karya mereka, kutemukan kepunyaan Ali. Aku tak bisa membaca tulisannya dengan jelas. Bahkan dia menuliskan Ali Sapik Baroroh sebagai namanya.
# Pertemuan berikutnya, aku mengajar IPA. Aku menuliskan beberapa catatan di papan tulis. Semua anak mencatat, tak terkecuali dia. Namun ada yang spesial darinya. Ali selalu mengeja kalimat-kalimat yang akan ditulisnya dengan suara keras. Mirip seperti anak TK atau murid kelas 1, 2. Tulisan Gaya, misalnya, dia baca gaaaa yaaaa. Setelah dia eja dengan keras, baru dia salin ke bukunya.
# Aku rutin mengecek catatan anak-anakku untuk melihat kerapian dan kemampuan menulisnya. Ali, benar-benar mencatat apa yang kutulis di papan tulis. Apapun itu, dalam sudut manapun, benar-benar plek mengikutiku. Jika aku menggambar anak panah, dia ikut pula. Jika aku mencoret huruf, dia ikuti pula. Jika aku menyingkat kata, lagi-lagi dia ikuti. Bahkan jika ada gambar ilustrasi yang lupa kuhapus di papan tulis, dia catat pula. Meskipun tulisannya masih hampir tak terbaca olehku, dia tetap mengumpulkan catatannya. Dan kulihat, Ali rupanya memiliki hurufnya sendiri.
# Setiap pelajaran aku usahakan memberikan PR untuk bahan belajar di rumah. Ali tak pernah lupa mengumpulkannya. Dan selalu benar. Dan hampir sebagian besar bukan tulisan tangan Ali yang mengerjakan PR itu. Kata teman-temannya, umak (ibu) nya yang mengerjakan.
# Suatu saat aku pernah meminta Ali keluar kelas. Ya, aku memang punya peraturan : siapa yang ingin makan, minum dan main di kelas, silahkan diselesaikan dulu di luar kelas. Hari itu, Ali membawa mainan gelembung balon dari cairan sabun. Saat aku mengajar, rupanya gelembung mampir ke dekatku saat aku sedang menulis di papan tulis. Aku balik badan, semua temannya kompak berkata Ali yang meniup gelembung itu. Kuminta Ali keluar kelas. Dia menolak. Sekeras aku memintanya keluar kelas, sekeras itu pula dia bertahan. Sampai aku berkata “ Ali tidak mau keluar kelas, Ibu Arina saja yang keluar “. Teman-temannya menyoraki “ Ali, keluarlah.. Kle lebar main, kabah pacak masuk lagi. “ ( Ali, keluar. Nanti setelah main, kamu bisa masuk kelas lagi ). Runtuh juga pertahanannya, dia keluar kelas. Samar-samar kudengar ada bunyi tangisan. Kutengok di luar, dekat rak sepatu, dia menangis. Terisak-isak dan bercucuran amat deras. Tak pernah sebelumnya aku melihat anak yang kuminta keluar menangis sesenggukan. Lalu dia mendekatiku sambil berjongkok, “ Bu, aku janji idak (tidak) main lagi di kelas. Aku ingin belajar, Bu. “ Aku masih keukeuh dengan pendirianku “ Kamu tahu, Li, apa kesalahanmu ? Ibu pernah bilang, kalau main, boleh. Tapi tidak di kelas, di luar sampai selesai. “ “ Au (iya), Bu. Aku la (sudah) puas. La kucapakkah (sudah kubuang) mainanku. “. Ali melempar gelas plastik berisi cairan sabun itu ke tanah sambil terus menangis. Tak tega juga aku melihatnya begitu. Posisi badannya jongkok. Kedua tangannya saling menggenggam. Kepalanya mendongak ke atas melihatku. Air matanya tidak berhenti mengalir. Dan yang pasti sesenggukan. Jika dilihat dari jauh, aku tampak seperti guru yang sedang menghukum muridnya dengan kekerasan fisik dan si anak memohon-mohon untuk menghentikan hukumannya. Akhirnya, aku berkata “ Masuklah, besok-besok tidak diulangi lagi. ”
# Suatu hari, pesanan meja dan kursi tambahan untuk sekolah datang. Jumlahnya sekitar 32 buah kursi dan 32 buah meja. Kupikir ringan, aku coba angkat 1 kursi dengan 1 tangan. Masya Allah, ternyata berat nian (sekali). Kuangkat meja, Allahu Akbar. Berdua-dua, anak-anak membantu guru memindahkan meja kursi dari truk ke sekolah. Kulihat dari jauh, ada 1 anak laki-laki, meja di atas punggungnya, tangannya memegang pijakan kaki meja lalu berjalan setengah berlari dari truk menuju sekolah. Waaooww, kuat nian anak itu. Siapa ya ? Setelah mendekat, baru kulihat dia. Dengan wajah tak menampakkan beban, dialah Ali, yang kuhitung telah berhasil mengangkat 5 meja sendiri.
# Aku mengadakan percobaan IPA tentang sifat cahaya. Anak-anak kuminta membawa alatnya. Salah satu kelompok seharusnya membawa 1 buah gelas bening, pensil dan sendok untuk pembuktian pembiasan cahaya. Ternyata anak yang kuminta membawa gelas, lupa membawanya. “ Bu, izin keluar ya. “ Ali mendatangiku ke depan. “ Kemane ? “ “ Kencing, Bu. “ “ Kencing di WC, bukan di kebun. “ “ Au “ Dia mengambil sepatu lalu berlari kencang. Aku putar otak. Bagaimana caranya percobaan pembiasan tetap dilaksanakan tanpa gelas ? Aku pergi ke kantor mencari botol air mineral. Namun ternyata kurang representatif. Akhirnya aku meminta tolong kesediaan anak yang rumahnya dekat sekolah untuk pulang sebentar mengambil gelas. Agung, yang rumahnya 15 langkah dari gerbang sekolah bersedia mengambil gelas. Belum 2 menit Agung pergi, Ali datang. Nafas ngos-ngosan. Tangannya membawa gelas bening plus airnya. Katanya, “ Bu aku kencing di rumah. Aku batak (bawa) gelas dan aik mati (air putih) untuk percobaan. “. Gelasnya ia berikan padaku, lalu duduk manis di kursinya sambil tersenyum lebar.
# Pelajaran Matematika kata dia paling sare. Paling sukar. Jika aku menjelaskan sesuatu, selanjutnya aku beri 2-3 soal latihan. Bagi anak-anak yang sudah yakin dengan jawabannya, maju ke depan untuk kukoreksi. Ali selalu maju ke depan. Tidak saat dia sudah selesai mengerjakan. Bahkan saat dia masih mencatat soal. “ Gila, Bu aku catat disini ? “ (Boleh Bu, aku catat disini ?). Kujawab “ Boleh “ Selesai mencatat nomor 1, dia maju lagi. “ Bu, lok mane mengerjakannya ? “ (Bu, seperti apa mengerjakannya ?). Kujawab “ Lok yang Ibu catat di papan tulis, Nak. “ (Seperti yang Ibu catat di papan tulis, Nak). Dia jawab “ Oiiihh, pacak aku. “ (Oiiihh, aku bisa). Merasa tidak yakin, dia maju lagi. “ Lok ini, Bu ? “ Kujawab “ Dikde, seharuse lok ini .... “ (Tidak, harusnya seperti ini... ). Lalu aku sedikit membantunya. Dia jawab “ Oiihhhh,,,, pacak nian aku. “ (Oiiihhh, aku bisa banget). Lagi-lagi merasa tidak yakin, dia maju lagi. “ Makmane ini, Bu ? Benar dikde ? “ (Bagaimana ini, Bu ? Benar tidak?). Kujawab “ Nah, lok itu. Lanjutkah berape jawabnye ? “ (Nah, seperti itu. Lanjutkan berapa jawabnya ?). Dia jawab “ Oiiiihhh.... “ Setelah menemukan jawaban, dia maju lagi “ Ingkok benar dikde, Bu ? “ (Punyaku benar tidak, Bu ?). Kujawab “ Benar, Nak. Lanjutkan nomor 2. “ Lalu dia berteriak sambil lari ke tempat duduk “ Yeeeeeeeee, beeeeenaaaaarrrrr. “ Untuk nomor 2 ? Yah begitu juga. Maju mundur bertanya padaku tak bosan-bosannya.
# Aku membuat 4 kelas ekskul. Ali mengikuti salah satunya, yaitu ekskul puisi dan pantun. Di kelas puisi aku mengajarkan anak-anak memberi contoh menggunakan gaya tubuh saat membacakan puisi. Suatu saat giliran Ali membacakan puisi. Judulnya Desaku yang Indah. Baru 1 baris dia baca, dia berkata “ Oiiiii,, tak terbaca nian tulisanku ini. “ Sontak semua anak-anak tertawa, tak terkecuali aku. Bagaimana bisa tulisan di bukunya tak terbaca oleh penulisnya sendiri yang tak lain tak bukan adalah Ali ? Tiara, kelas VI menawarkan tulisannya pada Ali. Lalu Ali mencoba berpuisi kembali. Baru 2 baris di berkata, “ Oiiii,,, ini pule tak terbaca. “ Padahal tulisan Tiara termasuk yang paling rapi dan benar sesekolah. Akhirnya dia berpuisi dengan buku tulisnya lagi. Berhasil. Meskipun beberapa kali jeda dan mengeja tiap kata per baris. Kuminta dia menyerahkan buku tulisnya. Daaan... rupanya Ali masih saja mempunyai hurufnya sendiri. Hanya dia yang bisa membaca catatannya.
# Itulah Ali Sapik. Anak kelas V di SDN 9 Semende Darat Tengah. Mungkin benar dia belum bisa menulis dan membaca dengan benar sampai umurnya ke 11 tahun ini. Mungkin benar dia masih lambat menerima dan memahami pelajaran. Namun, etos kerjanya luar biasa, kawan. Catatannya mungkin memang tak terbaca, tapi dia selalu sungguh-sungguh mengusahakannya. Perhitungannya mungkin memang sering salah, tapi dia selalu sungguh-sungguh mengerjakannya. Pemahamannya mungkin memang lambat, tapi dia selalu sungguh-sungguh bekerja keras. Aku harus mengenalkan Ali pada kalian, karena kuakui, aku belajar banyak dari dia. Aku belajar sabar. Aku belajar untuk tidak mengeluh sesulit apapun yang sedang kualami. Aku belajar untuk peka. Aku belajar untuk tidak pantang menyerah. Dan yang paling penting, aku belajar untuk berubah. Berubah untuk menjadi lebih baik lagi.
# Oh ya, aku lupa memberitahu kalian, apa cita-cita Ali. Ali ingin menjadi ustat. Ya, dia menulisnya demikian. Katanya, dia ingin mengajar Al-Quran dan masuk surga.
Nak, Ibu doakan Ali bisa mewujudkannya kelak.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda