info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mata Angga

Arina Nikma Baroroh 30 September 2013

Sebelumnya aku pesimis mengajar Matematika. Kulihat anak-anak masih sulit menghafalkan perkalian hingga 10 x 10, bahkan penjumlahan dan pengurangan masih banyak yang belum bisa. Hanya metode konvensional (baca : ceramah) saja yang kupikirkan saat itu. Namun anggapanku salah dan aku berubah pikiran. Ini karena mata Angga. Namanya Angga. Saat ini dia masih kelas VI di SD Negeri 9 Semende Darat Tengah, tempatku mengajar selama 1 tahun ini. Aku ingin berbagi cerita kepada kalian, sedikit tentang Angga. Ada apa dengan Angga ?

Pertama kali aku mengajar kelas VI, aku memanggil ketua kelas untuk memimpin doa sebelum belajar. Debedie. Tidak ada. Tidak ada yang mengacungkan tangan. Rupanya si ketua kelas tidak masuk sekolah. Aku bertanya pada anak-anak, siapa ketua kelas VI ? Kata mereka namanya Angga.

Pertemuan selanjutnya, aku panggil si Angga, ketua kelas. Kali ini dia masuk. Dia memimpin teman-temannya berdoa. My first impression of him : anak ini disegani teman-temannya. Sekali dia bilang : Siaap bersediaaaa. Beri salam pada Ibu Guru !, semua anak langsung patuh, diam dan melaksanakan perintahnya. Beda saat pertemuan sebelumnya, doa dipimpin oleh wakil ketua kelas, banyak anak yang masih sibuk sendiri.

Tapi anehnya aku merasa ada yang berbeda dengan matanya. Bukan. Bukan karena ada kelainan atau semacamnya. Saat aku mengajar, matanya sayu. Beda dengan anak-anak lainnya yang matanya berbinar : mata yang menunjukkan minat dan semangatnya dalam menerima pelajaran dariku. Ada apa dengan Angga ini ??

Di hari-hari berikutnya, begitulah dia. Masih dengan mata sayunya. Aku jadi berpikir, apa dia kurang menyukai cara mengajarku ? Apa dia ada masalah di rumah ? Saat aku tanyakan pada guru kelas V, Ibu Mariyati, kata beliau Angga juara 2 kelas tahun lalu. Juara lomba O2SN tingkat kecamatan pula. Kali ini aku berpikir : apa dia merasa bosan dengan pelajaran yang kuajarkan ? Karena di minggu-minggu awal semester, aku banyak mengulang materi pelajaran kelas V, bahkan penjumlahan dan pengurangan dasar yang sudah mereka pelajari dari kelas I.

Khusus untuk anak kelas VI, aku berikan mereka les tambahan selepas pulang sekolah. Angga mendapatkan jatah les tiap hari Rabu. Kesempatan emas bagiku. Aku berencana saat les itulah aku akan menanyakan kepadanya, apa yang sesungguhnya dalam benaknya saat aku mengajar di kelasnya.

Rabu sore itu hujan rintik. Saat aku sampai di sekolah jam 16.00, dia dan rombongan anak kelas VI yang mendapat jatah les hari itu sudah menunggu di Warung Gaul Sulai, rumah salah satu siswaku kelas VI, M.Sulaiman. Entah dari mana sebutan Warung Gaul itu melekat di rumahnya, mungkin karena orang tua Sulaiman berjualan jajanan dan sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak.

Kami belajar matematika. Tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan negatif. Saat aku melihat matanya, ada yang beda. Matanya berbinar !! Semangat sekali dia mengerjakan soal-soal yang kuberikan. Setiap soal yang kuberikan, dikerjakannya dengan cepat dan tepat. Kok beda sekali ya saat di sekolah dan saat les ? Semakin aku penasaran dengan dia, ada apa dengan Angga ??

“ Wah, Angga la pacak mengerjakan soal. Gacang nian. Kalau di kelas, kenapa dide semangat mengerjakan soalnya ? “ “ Wah, Angga sudah bisa mengerjakan soal. Cepat sekali. Kalau di kelas kenapa tidak semangat mengerjakan soalnya ? “

“ Di sekolah debedie tantangannya. Aku lemak nian Bu, kalau mengerjakan soal, gacang-gacangan. Siape la pacak dan gacang mengerjakan soal, dapat tanda tangan Ibu Arena, itu yang menang. “ “ Di sekolah tidak ada tantangannya. Aku suka sekali Bu, kalau mengerjakan soal cepet-cepetan. Siapa sudah bisa dan cepat mengerjakan soal, dapat tanda tangan Bu Arena, itu yang menang. “

That’s it ! Senang berkompetisi rupanya dia. Anak ini haus akan tantangan dan dia buktikan di sepanjang les pada hari Rabu sore itu. Les diakhiri dengan ‘kemenangannya’ mengerjakan 15 soal yang kuberikan. Dia tercepat dan jawabannya tepat semua.

Pukul 17.35, les diakhiri dan kami pulang. Jarak dari rumah ke sekolah yang hanya 400-500 meter kutempuh dengan berjalan kaki. Angga dan teman-temannya, rumahnya sekitar 1 km dari sekolah, naik sepeda. Saat aku berjalan, kulihat anak-anak yang lain sudah mengayuh sepedanya kuat-kuat dan kencang—hujan semakin deras.

Tapi tidak kulihat Angga. Saat aku tengok ke belakang, dia menuntun sepedanya dan berjalan, hanya berjarak 2 meter dariku yang sedang berjalan. Tanpa kutanya, dia berkata “ Lemak jalan, Bu. Olahraga. Sekalian menemani Ibu berjalan. “ “ Enak jalan, Bu. Olahraga. Sekalian menemani Ibu berjalan. “  Aku tersenyum, lalu berbalik memunggunginya lagi. Aku menahan tangis. Rabu sore itu, diiringi rintik hujan, aku menitikkan air mata. Air mata haru dan bahagia. Tuhan, terima kasih atas kesempatan ini. Kesempatan aku bisa bertemu Angga, memahaminya dan belajar darinya. Aku belajar untuk tidak pesimis, untuk tidak menganggap remeh kemampuan anak-anakku dan terus berkarya demi kemajuan anak-anakku.

Saat ini, anak-anak kelas IV, V dan VI sedang senang-senangnya belajar Matematika dan IPA dengan metode diskusi kelompok Matematika, cerdas cermat Matematika, mengisi Teka Teki Silang IPA dan membuat karya seni IPA yang akan dipajang di kelas mereka masing-masing.

Angga ?? Sekarang dia kuangkat menjadi polisi kelas. Dia bertugas menjaga ketertiban kelas VI dan membantuku mengatur barisan anak-anak kelas I dan II saat apel pagi tiap jam 07.15. Pulang sekolah dia ikut berjalan, menemaniku ngobrol sampai di depan rumahku.

Matanya ?? Mata Angga paling berbinar di antara murid-muridku yang lain. Untuk saat ini dan kuharap selamanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua