Tak Pakai Sepatu? Tak Usah Sekolah

Andrio 15 Juni 2012

“Tak pakai sepatu? Tak usah sekolah”, tegas seorang guru di depan murid yang sedang berbaris di lapangan upacara.

 

Masih segar dalam ingatan saya ketika menghadapi masa-masa “sulit” untuk menertibkan siswa kelas 6 yang memiliki hobi cukup unik: tak bersepatu ke sekolah. Kenapa saya anggap itu sebagai hobi? Karena mereka semua kecuali dua siswa memiliki sepasang sepatu namun tak mau menggunakannya. Dan hanya 7 dari 18 siswa yang selalu bersepatu di kelas 6.

Menanggapi fenomena tersebut, peraturan kelas pun mulai diterapkan: Yang tak bersepatu, harus mengambil sepatunya pulang ke rumah untuk kemudian dipakai. Jika tidak bersepatu, tidak diperbolehkan mengikuti KBM.

“Panas Pak, ndak suka saya. Dulu kami ndak apa-apa ndak bersepatu. Sekarang kami dipaksa pakai sepatu. Lebih baik ndak sekolah saja daripada pakai sepatu. Ndak suka saya pakai sepatu. Itu kan pilihan saya, Pak. Hidup itu pilihan,” ungkap seorang siswi yang merasa kesal ketika diminta pulang mengambil sepatu miliknya ke rumah. Namun, ia tak kembali ke sekolah di hari itu dan hari esoknya. Tampaknya, sebagian dari mereka cukup kaget ketika aturan ditegaskan penerapannya.

Ada pula siswi lain yang tiap hari selama 2 minggu “berulah” di kelas 6 terkait penerapan aturan diatas. Selama 2 minggu, ia tidak bersedia memakai sepatu ke sekolah karena “ia tidak suka dan tak terbiasa”. “Yang penting kan saya mau sekolah Pak,” jawabnya ketika saya tegur berulang kali. Tiap hari ia saya tegur dan tiap hari pula ia pulang ke rumah untuk mengambil sepatu. Tiap hari pula ia akan melepas sepatunya pada saat istirahat dan pulang sekolah. Dalam menghadapi kendala semacam ini, kesabaran dan konsistensi guru mutlak diperlukan.

Suatu hari, saya datang ke sekolah dengan pakaian yang agak nyentrik: tidak bersepatu. Seluruh warga sekolah pun menatap keheranan, termasuk dewan guru. “Bapak, kenapa ndak bersepatu?” tanya siswa/I yang datang mengerubungi. Saya hanya merespon dengan senyuman sambil mengucap salam.

Lonceng sekolah pun dibunyikan dan murid berbaris rapi di depan kelas masing-masing dengan raut wajah yang menyiratkan keheranan ketika menatap kaki gurunya yang tanpa alas. Kelas segera dimulai dan saya mengajar dengan penuh semangat. Ketika kesempatan untuk berdiskusi diberikan bagi seluruh siswa, pertanyaan pertama yang muncul dari mulut mungil mereka adalah “Kenapa Bapak tidak pakai sepatu?”

Saya menjawab, “Kenapa? Hmm, kalau kalian ndak pakai sepatu, Bapak juga tidak mau. Hidup itu kan pilihan. Masa’ murid Bapak saja yang boleh memilih tidak pakai sepatu? Bapak kan juga boleh milih. Bagus kan ya kalau Bapak tidak pakai sepatu?”

Serempak mereka menjawab, “Tidak Pak.” Seorang siswa menambahkan, “Pakai sepatu saja Pak, nanti kami juga pakai sepatu. Saya ambil pulang dulu sepatu saya Pak.” Teman-temannya yang tak bersepatu turut serta berlarian pulang ke rumah masing-masing untuk mengambil sepatu. Saya, guru kelas 6, juga mengambil sepatu yang tersimpan rapi di lemari kelas. Di hari itu, untuk pertama kalinya semua siswa kecuali dua orang, bersepatu. Ah, rapinya.

Bagaimana dengan dua murid yang tak punya sepatu? Beberapa minggu kemudian, seorang siswa membeli sepatu di hari pasar secara mandiri dari hasil menabung. Dan seorang murid lainnya mendapat hadiah sepatu dari guru. Semua siswa pun sudah memiliki sepatu dan sudah menertibkan diri untuk bersepatu ke sekolah.

Ketika mereka membanding-bandingkan photo masa lalu dan masa sekarang, dengan bangga mereka berkata, “Memang lebih bagus bersepatu, Pak. Lebih rapi.” Hal ini pun diaminkan oleh murid-murid kelas bawah ketika saya menunjukkan foto-foto siswa kelas 6 pada mereka. Alhamdulillah, seluruh murid pun menunjukkan semangatnya untuk mengenakan sepatu agar terlihat lebih rapi. Disiplin itu indah teman-teman.

 

#BersyukurJadiGuru

 

Andrio

Pengajar Muda Angkatan 3

Desa Labuang Kallo, Kabupaten Paser


Cerita Lainnya

Lihat Semua