Bu Muliyana: Perempuan Desa itu Harus Berani Bersekolah Tinggi

Ahadyah Ayu Umaiya 24 Februari 2017

"Saya ingin terus berbagi ilmu di sepanjang usia saya kepada anak-anak Bajayau Tengah. Ada rasa bahagia di hati ketika mengajar mereka. Saya percaya bahwa setiap anak memiliki potensi terbaiknya masing-masing.'' (Muliyana)

Wanita kelahiran 1974 berdaster merah jambu di sampingku ini bernama Muliyana. Bu Muli begitu sapaan beliau sehari-hari. Beliau adalah rekan guru yang mengajar satu atap denganku di SDN Bajayau Tengah 1. Beliau adalah guru PNS asli dari desa penempatanku, Bajayau Tengah. Beliau diangkat menjadi PNS pada tahun 2015 setelah sebelumnya menjadi guru honorer di SD selama 22 tahun.

Perjuangan beliau menjadi guru patut saya acungi jempol. Berkali-kali gagal dan menjadi bahan gunjingan tetangganya di desa, tidak membuat Bu Muli putus asa. Menjadi guru SD adalah impian beliau sejak duduk di bangku SD. Bisa dibayangkan di jamannya tahun 70an, meneruskan pendidikan hingga tamat SMA, apalagi kuliah masih menjadi hal tabu di masyarakat. Menjadi hal wajar, apabila anak telah lulus SD langsung menikah, atau saat duduk SMP lalu keluar kemudian menikah. Dan fenomena pernikahan dini ini pun masih menjadi hal biasa di desa penempatanku meskipun jaman telah memasuki abad ke-21.

Bu Muli berani melawan dogma di masyarakat saat itu bahwa perempuan dilahirkan hanya untuk urusan dapur, solek, dan anak. Beliau bertekad harus bisa sekolah tinggi agar bisa menjadi guru di tempat beliau mengenyam pendidikan SD dulu. Ya apalagi jika bukan menjadi guru SD di desanya sendiri.

Selepas SD, Bu Muli merantau ke Nagara berjarak 1.5 jam dari desa jika ditempuh menggunakan perahu cis. Beliau berani meninggalkan desa di saat kawan-kawan beliau banyak yang sudah menikah dan jarang sekali mendapati perempuan keluar desa. Sampai saat ini masih ada anggapan di masyarakat, jika perempuan keluar desa jauh-jauh, maka perempuan itu 'tidak benar'. Di Nagara lah, beliau menyelesaikan pendidikannya hingga tamat SMA.

Seusai tamat SMA, beliau tidak langsung melanjutkan kuliah. Beliau kembali ke desa dan memulai karir beliau dengan menjadi guru honorer di SD Bajayau Tengah 1 pada tahun 1993. Saat itu, upah menjadi guru honorer 20.000/bulan. Meskipun upah menghonor yang diterima beliau kecil, beliau tetap senang. Sebab bukan besarnya upah yang dia cari, tetapi kepuasan anak-anak ketika diajarnya itulah yang Bu Muli cari. Bagaimana anak didiknya bisa mengerti dan paham tentang materi yang dia ajar. Bertambah wawasan dan etika sopan-santunnya. Hal-hal tersebutlah yang membuat Bu Muli tetap bertahan menjadi seorang guru di desanya sendiri.

Kemudian, saat beliau menjadi guru honorer barulah kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu datang. Tiada terkira bahagianya beliau bisa melanjutkan jenjang S1. Menjadi seorang sarjana di desa merupakan hal yang luar biasa bagi beliau. Tetapi lagi-lagi menjadi hal yang aneh di masyarakat desa. Menjadi orang kaya di desa lebih terhormat (dipandang tinggi kedudukannya) daripada menjadi orang yang berpendidikan tinggi di mata masyarakat. Sehingga menjadi hal yang wajar ketika penduduk yang kaya di desa tidak menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi.

Bu Muli pernah gagal menyelesaikan kuliahnya. Saat beliau menjadi mahasiswa Universitas Terbuka semester 5 di kabupaten sebelah, beliau hamil tua dan melahirkan. Beliau menikah di usia 24 tahun di 1998, termasuk kategori perawan tua saat itu. Beliau tidak peduli dengan sebutan yang disematkan tetangga kepadanya. Prinsip beliau saat itu, perempuan harus bisa bercita-cita dan sekolah setinggi-tingginya. Jodoh tentu akan bertemu pada saat yang tepat.

Setelah beberapa tahun kemudian, beliau diberikan kesempatan lagi oleh Allah SWT untuk kuliah S1 kembali di ibukota kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan. Perjuangan beliau tidak sampai di sana, untuk membiayai akomodasi PP desa-Kandangan, beliau rela mengajar sambil berjualan snack ke anak-anak saat jam istirahat dan menjadi tenaga pengajar TPA di desa selepas dzuhur.

Kini, Bu Muli sedikit demi sedikit telah memanen hasil perjuangannya. Allah SWT tidak akan pernah menelantarkan hambaNya yang telah keras berusaha. Berkat kegigihan beliau, tahapan menjadi pegawai PNS sudah beliau raih. Masyarakat kini telah melihat bahwa wanita bersekolah tinggi pun bukan menjadi dosa dan aib untuk keluarganya. Justru Bu Muli menjadi orang yang berguna dengan memberikan sumbangsih pengabdian untuk pendidikan di desa tempat kelahiran beliau. Selain itu, beliau juga dapat mengangkat derajat dan martabat keluarga sehingga keluarganya bangga.

Saat saya bertanya, ''Apakah ibu ingin terus menjadi guru di desa ini?''

Beliau mengangguk mantap dengan mata berkaca-kaca, ''Ya, Yu ai! Saya ingin anak-anak sini dapat pendidikan selayaknya anak kota. Semoga mereka bisa mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang berkualitas. Saya percaya mereka aslinya pintar. Tidak ada namanya anak yang bodoh.''

Saya mengaminkan do'a beliau. Jujur saya terharu ketika mendengarkan dengan hikmat kisah perjalanan beliau dari bawah sampai beliau diangkat menjadi PNS. Banyak sekali pelajaran yang saya petik senja itu bersama beliau. Saya menjadi bersyukur bahwa perjalananku hingga bisa menempuh S1 jauh lebih mudah dibandingkan dengan perjuangan beliau. Beliau banyak melampaui batas: melawan dogma di masyarakat, hidup di daerah terpencil yang minim fasilitas publik, keterbatasan ekonomi, dan kehidupan keluarga. Sedangkan tantangan terbesar saya dulu hanya keterbatasan ekonomi saja. Jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beliau!

Terima kasih atas pelajaran berharga kesekian kali ini, Ya Rabb! Limpahkanlah selalu kesehatan dan kesejahteraan serta ringankanlah selalu langkah Bu Muli untuk mengajarkan ilmu kepada setiap tunas-tunas muda penerus negeri, Ya Rabb! Tentu setiap anak-anak di sudut negeri ini termasuk anak -anak Bajayau Tengah berhak mendapatkan pendidikan berkualitas dan sama rata seperti di luar pedalaman Borneo sana! Bukan begitu??


Cerita Lainnya

Lihat Semua