Mas Guru Punya Cerita: Sungaiku Sekolahku

Agung Firmansyah 12 Februari 2011
Mas Guru Punya Cerita: Sungaiku Sekolahku Seri Konstruktivisme “Assalamu’alaikum.”, aku berangkat sekolah. Tas laptop dijinjing di tangan kiri (kosong, cuma buat aksien aja :cool: ), tangan kanan sibuk melambai ke balita-balita yang menyapa dengan lucunya, “Gulu balu....gulu balu...!”. Guru Baru? Hingga kini mungkin hanya beberapa orang –termasuk muridku – yang tahu bahwa namaku Agung Firmansyah. Orang-orang di kampung lebih mengenalku dengan panggilan ‘Pak Guru’, ‘Guru Baru’, atau ‘Mas’. Bahkan Bapak Angkatku juga memanggilku ‘Pak Guru’ :-) . Oke, lupakan tentang guru baru ini. Mari kita masuk sekolah. Singkat cerita, hari ini aku kebagian kelas VI. Masuk kelas, ucapkan salam, berdoa, dan lihat jadwal pelajaran. PKN! Wadah...! Mau ngajar kaya gimana ya kalau PKN? Mikir....mikir.... Masih mikir.... Nah.... gini aja, “Kelas VI, kalian pernah melakukan penelitian?”. “Belum....!”, paduan suara kelas VI mengambil suara. “Mau melakukan penelitian?”, tanyaku lagi. “Mau....!”, mereka mengambil suara lagi. Yes! Aku berhasil menghindari PKN (lagi) :mrgreen: . Tiba-tiba seorang murid bertanya – tanpa angkat tangan, “Pak, penelitian itu apa?”. Gubrak! Katanya mau, tapi kok tidak tahu apa itu penelitian (~.^’’). Haha, baiklah. Ayo nggedabrus dulu. Penelitian adalah mengamati dan mengumpulkan data kemudia berfikir (kata menganalisis ketinggian buat anak SD) atau menghitung supaya tahu mengapa sesuatu hal terjadi. Misalnya mengapa langit berwarna biru. Ada yang tahu mengapa? Kadang-kadang penelitian juga bertujuan untuk menciptakan alat-alat baru, seperti penelitian pembuatan lampu listrik. Aku bilang, kalau mereka jadi insinyur komputer mereka akan meneliti bagaimana menciptakan komputer yang super cepat (komputer cepat? Apaan tuh?). Kalau jadi insinyur mesin, mereka bisa meneliti bagaimana membuat mobil yang kuat menanjak (since Majene banyak gunung gitu). Kalau mereka jadi dokter, mereka bisa meneliti untuk membuat obat-obatan. Mungkin tiga kalimat terakhir tidak tepat-tepat amat, namanya juga nggedabrus :mrgreen: . Mungkin anak-anak juga tidak paham betul apa itu komputer, apa bedanya insinyur yang satu dengan insinyur yang lain. Yang penting adalah anak-anak makin kuat impiannya. Saat berinteraksi dengan mereka, aku sengaja menyinggung mengenai cita-cita, profesi, atau apa saja yang bisa mereka lakukan jika lulus sekolah. Aku sudah memilih, tugas utamaku bukan mengajar atau membuat belajar jadi menyenangkan. Tujuan utamaku kemari adalah membantu mereka menemukan alasan mengapa mereka harus tetap belajar. Mari kembali ke penelitian. Pergi ke Laboratorium Nggedabrus selesai, penelitian dimulai. Kubuka buku IPA lalu kuajak kelas 6 keluar kelas. Anak-anak ini senang benar kalau belajar di luar (padahal cuma beda 3 meter dari kelas :P ). Kali ini, kami akan meneliti pelapukan batuan. Apa itu pelapukan? Mari sama-sama ke ‘laboratorium’, mengamati bebatuan yang ada di bawah pancuran atap sekolah. “Itu apa?”, tanyaku. “Batu, Pak.”, jawab mereka. “Kamu bisa hancurkan batu itu dengan sekali injak?”, kataku seolah menantang :cool: . “Wah..., sakit kaki Pak. Keras. Tapi kalau yang itu (brak) saya bisa.”, Jimran langsung saja menghentakkan kakinya di salah satu batu yang berlumut. Batunya retak. Siswa laki-laki yang lain langsung ikut-ikutan menendang batu. Kok jadi pamer tendangan begini? Waduh! Salah pembukaan nih :mrgreen: . “Baik, cukup. Cukup...! ... Assalamu’alaikum Bapak-bapak...”, kataku pada para bocah lelaki itu. “Wa’alaikum salaam....”, baru mereka berhenti menendang batu. “Hufff... Mengapa batu yang ini tidak mudah pecah sedangkan batu yang tadi gampang pecah?”, lanjutku. “Ee...., karena yang ini tidak ada lumutnya. Yang itu banyak lumutnya Pak.”, kata mereka hampir bersamaan. “Kenapa kalau ada lumutnya?”, kukejar terus otak mereka. “Kalau ada lumutnya, Pak, jadi tanah Pak.”, kata Andika. “Lunak batunya Pak.”, kata Nita. “Oh, begitu ya? Batunya lunak terus jadi tanah.”, sahutku. “Iya Paaaak!”, balas mereka. “Pertamanya batunya keras, begitu? Terus bagaimana batu-batu ini bisa jadi tanah?", tanyaku. Jimran menjawab, “Pertama kena hujan Pak. Terus ..., aka indo’do Andika?”. “Kena hujan, terus ditumbuhi lumut. Lalu batunya hancur jadi tanah.”, sambung Andika. “Seperti kata Jimran sama Andika, pertama batunya terkena hujan, lalu ditumbuhi lumut. Kemudian langsung hancur jadi tanah?”, kataku. “Tidak Paaak...! Jadi lunak dulu Pak. Kemudian sedikit-sedikit hancur jadi tanah.”, jawab mereka. “Jadi hancur jadi tanahnya sedikit-sedikit. Nah, proses batu yang keras hancur menjadi tanah yang lunak disebut proses PELAPUKAN. Disebut proses apa? PE...LA...PU...KAN.”. “PE...LA...PU...AN!”, kata mereka. Pelapukan adalah kata asing, kata baru, jadi masih perlu diulang-ulang. Setelah itu diskusi berlanjut dengan pertanyaan apa itu pelapukan. Dengan terbatah-batah, akhirnya mereka berhasil menjawabnya. “Tepuk tangan buat kita semua...! Ayo tepuk tangan lingkaran....! Segitiga....!”, kok tepuk tangan? Just breaking the ice in my head :D. Pelajaran berlanjut dan masih di luar kelas. Pertanyaan-pertanyaan ‘jebakan’ dilontarkan. Apakah hanya hujan yang bisa membuat batu ditumbuhi lumut? Apakah hanya batu yang bisa ditumbuhi lumut? Selain karena lumut, adakah cara lain untuk menghancurkan batu? Apakah masih mau melanjutkan penelitian? YAAA! Lalu siswa-siswa cerdas ini aku ajak ke ‘laboratorium’ kedua, sebuah sungai tempat biasa kami mandi (dan melakukan beberapa kegiatan lain :mrgreen: ). “Pak...., ada orang titai di situ.”, kata Jimran. “HAHAHAHA.....”, semua tertawa terbahak-bahak.

Di tepi sungai diskusi kami teruskan. Ditemani semilir angin, percikan air, teriknya mentari, dan tawa anak-anak karena melihat orang titai, kami meneruskan penelitian :cool: . Pasir ini dari mana? Dari batu. Bagaimana batu bisa jadi pasir? Terbawa arus lalu bertabrakan dengan batu-batu yang lain, terkikis oleh air. Apakah batu-batu ini menjadi lunak sebelum berubah jadi pasir? Tidak, batu-batu-batu itu pecah begitu saja saat bertabrakan dengan batu lain yang juga keras. Tarik nafas......, jadi pelapukan adalah .... proses berubahnya benda yang keras menjadi lunak atau proses berubahnya benda besar menjadi benda-benda yang lebih kecil. Pengamatan di laboratorium alam telah selesai. Saatnya kembali ke markas lalu menuliskan dengan rapi semua hasil pengamatan yang tadi kami dapatkan.

Sepenggal cerita di atas sebenarnya sudah melalui proses editing sehingga percakapan yang ditulis lebih sederhana daripada yang sesungguhnya terjadi. Konstruktivisme itu kaya mancing bandeng. Umpang yang diberikan harus sesuai. Kalau ikan sudah menggigit umpan, si pemancing harus tahu kapan perlu ngetatin atau ngendoring tarikan. Karena itu aku sering bilang ‘mancing otak mereka’. Di kota, sekolah (dengan laboratorium) alam butuh biaya mahal. SPP mahal. Uang gedung mahal. Gaji gurunya (semoga) mahal. Yang sekolah pun bajunya mahal. Di sini, di hutan ini, sekolah dengan ‘fasilitas’ sejenis begitu murah. SPP gratis. Uang gedung gratis. Gaji gurunya seadanya. Yang sekolah pun baru pakai seragam kalau dapat yang gratis. Ibarat potongan lirik lagu The Nasip, “syukuri apa yang ada, idup adalah anugrah”.

Cerita Lainnya

Lihat Semua