Ritual Ke Pinggir Sungai dan Perjalanan Setiap Tanggal 10

adji prakoso 7 September 2012

Pasti banyak orang beranggapan bahwa penempatan diwilayah sumatra lebih mudah akses dalam segala bidang dibandingkan daerah timur Nusantara. Apalagi wilayah penempatan saya dan tujuh teman pengajar muda lainnya di Sumatra selatan. Provinsi yang terkenal mempunyai kekayaan alam melimpah, giat membangun dan menyelenggarakan event berskala Internasional dalam jangka waktu beberapa tahun ini. Contohnya event bersejarah “SEA Games” yang tuan rumahnya provinsi Sumatra Selatan dan DKI Jakarta sebagai representasi nama baik Indonesia di kawasan regional Asia Tenggara. Sumatra Selatan menjadi saksi terbakar kembali rasa percaya diri rakyat Indonesia Namun menurut saya ini adalah anggapan yang kurang tepat, dikarenakan setiap wilayah penempatan Indonesia Mengajar mempunyai tantangan yang unik dan berbeda.

Sulitnya jangkauan dari akses komunikasi jadi salah satu tantangan menarik yang saya hadapi ketika penempatan di desa Kepayang, kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Kepemilikan handphone di desa sulit bermanfaat, jikalau signyal yang menghubungkan dengan wilayah lainnya tidak terjangkau. Banyak warga sering becanda, “Makanya jangan hanya beli handphone saja sekalian signyalnya juga”. Signyal hanya ada di pinggir-pinggir sungai Lalan, karena tower terdekat sekitar 3 km dari sebrang sungai. Tetapi batang signyal yang terdeteksi hanya dua.

Komunikasi dengan areal selain desa penempatan terkadang penting, mengingat empat bidang tugas pengajar muda yang tidak hanya fokus di kegiatan kulikuler saja. Amanat advokasi pendidikan di wilayah Kabupaten mengharuskan terjalinnya komunikasi intensif dengan stakeholder pendidikan. Jalinan komunikasi intensif jelas tidak dibangun dalam ruang formal. Bertanya tentang kabar atau kesibukannya dan menguraikan pesan motivasi melalaui hubungan informal, jelas komunikasi yang juga harus dibangun demi berhasilnya rancangan program dalam kerangka amanat advokasi pendidikan.

Saat membutuhkan signyal handphone untuk berhubungan dengan dunia luar, mesti berlari ke belakang rumah orang tua asuh karena letaknya tepat di pinggir sungai Lalan. Tetapi kegiatan mencari signyal tidak bisa berjalan ketika pagi atau sore hari. Jika dilaksanakan pagi atau sore hari, pandangan akan mengarah ke aktivitas warga membersihkan diri atau membuang air di pinggir sungai. Aktivitas mencari handphone jadi terlihat tidak sopan. Ketika dilakukan malam hari jelas lawannya adalah udara dingin yang menusuk tubuh.

Terkadang akses signyal handphone di desa bisa mengakses jejaring sosial. Tetapi internet lewat saluran modem di Laptop tidak terjangkau. Akhirnya ketika bulan di kalender berjalan sampai tanggal 10, batas terakhir mengumpulkan laporan ke kantor Indonesia Mengajar di Jakarta. Saya harus menembus dinginnya pagi menuju kecamatan mengunakan perahu motor berukuran kecil. Jarak tempuhnya sekitar dua jam setengah dari desa. Perahu itu hanya sekali berjalan pulang pergi menuju kecamatan. Waktu berangkatnya pukul 06.00 dan pulang pukul 13.30 . Biaya yang dikeluarkan untuk sewa perahu juga cukup banyak.

Ketika berjalan menuju kecamatan, ritual yang tidak boleh dilupakan sebelumnya adalah makan pagi dan menggunakan jaket. Jika tidak dijalankan bersiaplah pulang dari kecamatan diiringi angin-angin liar yang bergentanyangan dalam tubuh. Selain jalur sungai, sebenarnya terdapat akses menggunakan transportasi darat menuju kecamatan. Namun harus menembus lahan sawit yang penuh debu, jika hujan turun jalan berubah menjadi kubangan. Akses darat juga lebih lama, menghabiskan waktu sekitar 3 jam dengan muka didempul debu tanah. Jadi lebih baik menghabiskan dingginnya pagi menggunakan perahu motor kecil menuju kecamatan


Cerita Lainnya

Lihat Semua