info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Guru pun Boleh Marah!

Noveri Maulana 27 Desember 2011

Hampir sudah dua bulan aku menginjakkan kaki di Tanah Mandar ini. Kabupaten Majene, Sulawesi Barat ini benar-benar memiliki pesona yang luar biasa. Walau ditempatkan di puncak bukit nan jauh dari jalan raya, tapi dari halaman sekolah pun aku bisa menatap hamparan laut Selat Makassar dengan indahnya. Sungguh, sebuah anugerah Tuhan yang tentu tak akan pernah aku lupa.

Dua bulan bukan waktu yang singkat untuk menelusuri setiap jiwa murid-muridku. Walaupun SD kami hanya memiliki 55 orang murid saja, tapi hal ini bukan alasan untuk mengganggap remeh mereka. Justru, dengan jumlah yang sedikit ini lah aku mendapat tantangan yang jauh lebih besar untuk menyelami setiap perilaku dan perangai ‘unik’ mereka. Hidup di tengah hutan di puncak bukit seperti ini sangat mempengaruhi pola pikir anak-anakku. Di daerah kecamatan kami, anak-anak gunung terkenal lebih “nakal”, susah diatur, dan lebih banyak bermasalah dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di daerah pesisir yang memiliki kemudahan segala akses dan fasilitas ‘mewah’ layaknya orang berpunya. Anak-anak gunung seringkali dianggap sebagai orang yang memiliki kepribadian keras, susah diajak kompromi dan lebih baik dipukul daripada dinasehati. Yeah, that’s how it works in here!

Tapi aku, sedari awal berusaha untuk terus menjaga pikiran positif, berusaha untuk terus menganggap bahwa anak-anak ini adalah bintang dengan keahliannya masing-masing. Anak-anak ini adalah ciptaan Tuhan yang memiliki keunikannya tersendiri. Semakin aku mengingat hal itu, semakin besar optimisme yang terbangun di dalam hati. Jadi, tak ada alasan bagiku untuk serta merta hanyut dalam stereotype yang tak berguna, terkubur dalam pikiran naif dan asumsi sempit orang-orang yang tak begitu tahu kondisi dan realita.

Karena itu, dua bulan bagiku adalah waktu yang cukup panjang guna mendalami setiap karakter dari murid-muridku ini. Unik, lucu, bikin gemes, tapi tak sedikit juga yang mengundang amarah, mengaduk emosi, dan meruntuhkan benteng kesabaran. Akan tetapi, bagiku semua itu justru menjadi pelengkap indahnya sebuah perjuangan. Toh, jika semuanya berjalan sediakala tanpa tantangan dan sedikit usaha, niscaya hidup akan terasa hambar dan biasa saja. Karena itu, walau terkadang aku harus menghadapi jalan emosi yang naik turun, benteng kesabaran yang hancur lebur, namun aku terus berusaha untuk berlaku adil pada diriku, terlebih pada murid-muridku itu.

Karena keyakinan untuk menggali potensi mereka itulah aku terus melatih kesabaran dan mengalahkan emosi yang cukup menguras tenaga. Bahkan, terkadang, energiku habis bukan karena aktivitas kepengajaran, tapi justru habis terkuras karena bertempur dengan diri sendiri, mengalahkan emosi dengan setumpuk kesabaran yang masih tersisa. Susah memang, namun dua bulan adalah waktu yang cukup panjang bagiku untuk mempelajari dan menyiasatinya. Sedari awal, aku sudah menegaskan tentang arti sebuah kedisiplinan kepada murid-muridku.

Hampir setiap hari selama minggu-minggu pertama kehadiranku, aku selalu berupaya menanamkan makna kedisiplinan dan ketegasan yang akan aku terapkan selama berada di sini. Bagiku, kedisiplinan adalah kunci utama dalam menjaga ketertiban, karena itu anak-anak sedari awal sudah kutekankan untuk berperilaku disiplin agar segala sesuatu di sekolah berjalan tertib dan harmonis.

Tapi tak mudah memang, aku harus berusaha lebih keras dan butuh waktu yang cukup panjang. Namun, setelah hampir dua bulan ini, aku sudah bisa melihat beberapa peningkatan dan perubahan yang cukup mendasar dari murid-muridku. Sudah banyak yang mulai mengerti tentang arti larangan dan mengerti tentang makna dari peraturan. Bahkan, tidak sedikit yang sudah mulai tahu tentang konsekuensi dari perbuatan yang melanggar peraturan. Berusaha untuk tidak kejam, namun kami tetap menerapkan hukuman bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Bagiku, ada kalanya di mana guru harus mampu bersikap tegas terhadap perilaku muridnya dan juga ada masanya ketika guru harus bisa melebur dengan kondisi murid-murid mereka. Tak jarang, aku harus bersuara agak keras untuk menunjukkan ketegasan terhadap perilaku buruk muridku. Namun, sebaliknya, tak jarang pula aku ikut turun tangan main kelereng, gasing, bahkan main lompat tali bersama murid-muridku. Hal ini aku lakukan untuk membentuk pemahaman bagi mereka bahwa Pak Guru marah ketika mereka berbuat tidak senonoh dan melanggar peraturan. Namun, ketika mereka tidak melanggar peraturan, maka Pak Guru pun bisa diajak bermain dan bercanda layaknya teman biasa. Bagiku, itu prinsip dasar yang harus ditanamkan pada setiap murid tentang makna sebuah kedisipinan dan ketegasan.

Karena itu, bagiku adalah wajar ketika seorang guru marah melihat perangai dan kelakuan murid mereka yang tidak sewajarnya. Adalah suatu sifat yang manusiawi ketika seorang guru marah melihat kondisi dan situasi yang tidak tertib dari anak asuhnya. Masih juga wajar ketika seorang guru marah karena aktivitas murid yang tidak sepatutnya. Memang marah adalah sebuah bentuk reaksi terhadap ketidaksukaan seseorang terhadap suatu hal. Tapi bagi guru, marah adalah sebuah bentuk kasih sayang terhadap murid yang direfleksikan melalui ‘cara yang tidak biasa’.

Marah bukan berarti guru membenci muridnya, namun sudah sepatutnya bahwa marahnya seorang guru juga harus bersifat mendidik. Marahnya seorang guru harus menjadi pelajaran yang bisa dikenang dan dipahami oleh murid-muridnya. Marahnya seorang guru bukan serta merta bergelut dengan emosi dan berlaku carut marut di hadapan muridnya. Tapi, marahnya seorang guru juga harus menjadi ilmu yang justru sangat berguna bagi masa depan anak-anak mereka. Marahnya seorang guru adalah sebuah bentuk aktualisasi cinta dan kasih sayang yang tak terhingga. Semoga!


Cerita Lainnya

Lihat Semua