info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Guru tidak berpengalaman yang kewalahan mentertibkan murid-muridnya then just walkout

Pipit Indrawati 5 Januari 2011

"If you don't like something, change it. If you can't change it, change your attitude. Don't complain." Maya Angelou

Kelas 4 ... kelas yang kebanyakan guru mengaku kewalahan mengatasi murid-muridnya. Dan hari ini, hari Rabu, jam pelajaran terakhir, pelajaran bahasa Inggris, saya isi dengan memotivasi mereka. Dari rumah saya sudah menyiapkan sebuah awan impian dimana anak-anak satu persatu akan menempelkan bintang-bintang yang bertuliskan cita-cita dan harapan mereka kelak dimasa depan.

Saya masuk kelas dengan positif thinking bahwa kelas ini bukanlah kelas yang sulit untuk diatur. Awalnya, saya mengajak mereka untuk membayangkan bersama-sama kelak mereka akan menjadi apa. Kemudian kami bernyanyi dan bermain tebak tikus, tebak-tebakan yang saya peroleh dari game card liburan.

Mereka bisa diajak bekerja sama. Hanya saja antusias dan energi mereka sangat tinggi. Mereka belum bisa diajak untuk mengangkat tangan jika ingin bicara. Setiap ada pertanyaan, mereka akan menjawab bersama-sama dengan jawaban masing-masing. Semangat dan antusiasme seperti itulah yang membuat kelas ini nampak sulit untuk ‘dijinakkan’. Anak-anak berteriak-teriak berusaha menjawab pertanyaan dan berinteraksi dalam proses pembelajaran. Saya menerapkan hai dan hallo juga seruan ‘anak-anak & siap’ untuk mentertibkan teriakan-teriakan mereka.

Namun, metode tersebut tidak berhasil ketika saya meminta anak-anak satu persatu, siapa saja yang sudah selesai menuliskan cita-cita dan harapan mereka dalam bintang-bintang, untuk menempelkan bintang mereka ke awan yang saya tempel di tembok depan kelas.

Mereka semua berlarian dan bermain-main dalam kelas. Beberapa membuat barisan untuk menempelkan bintangnya. Namun ada yang dorong mendorong dalam barisan dan ada pula yang menjahili teman nya dengan memukul kepala teman lainnya.

Kelas benar-benar kacau. Saya terpojok dalam artian sebenarnya sekaligus kiasan. Saya berdiri di meja guru yang kebetulan bersebelahan dengan tembok. Anak-anak membuat barisan yang saling berdesak-desakan di samping kanan saya, menutup jalan keluar dan ruang gerak saya. Hanya tersisa setengah meter antar saya dan barisan anak-anak yang saling dorong tersebut. Awan impian saya tempelkan di tembok belakang saya berdiri. Di depan saya ada meja guru yang dikerumuni oleh anak-anak yang menonton tanpa peduli dengan intruksi untuk baris mengantri. Di ruangan kelas, ada sekumpulan anak-anak yang saling berlari dan lompat-lompat dari kursi.

Pertama saya mentertibkan anak-anak yang berlarian dan anak-anak yang mengerumuni meja guru. Meminta mereka untuk bergabung dengan barisan. Awalnya dengan suara pelan hingga makin keras dan keras, berharap merek bisa mendengar intruksi dengan jelas dan segera menjalankannya.

Namun, mereka hanya diam dan memperhatikan saya seakan-akan saya berbicara dengan bahasa alien yang tidak mereka pahami. Aaaargggh... tatapan itu... tatapan yang seakan-akan sedang berbicara dengan sahabat yang bosan namun tetap berkomentar ‘okey, just speak, I’m listening’ sambil membolak-balik halaman majalah fashion terbaru. But, this is kids I’m dealing with... dan ternyata mereka bisa mengabaikan apa yang saya minta seakan-akan suara saya hanyalah hembusan angin yang menerpa rambut mereka.

Di barisan anak-anak, dorong mendorong semakin hebat, bahkan ada anak laki-laki yang memukul kepala anak perempuan sampai menangis.

Saya sungguh bingung mengatasinya... mengatasi keramaian masa yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan.

Akhirnya, mulailah saya dengan sebuah ancaman. Bahwa jika mereka tidak tertib, tidak akan ada awan dan bintang-bintang untuk ditempel. Saya menunggu hingga tiga kali peringatan, namun keadaan malah semakin buruk. Sebelum melangkahkan kaki keluar kelas, saya sungguh-sungguh berpikir is there any other way coz this is seems wrong... tapi, siapalah saya. Saya hanyalah guru tanpa pengalaman yang kewalahan mengatasi murid-muridnya dan akhirnya memilih untuk walk out dari kelas.

Jadilah awan dan bintang-bintang impian itu tidak jadi ditempelkan.

Merasa bersalah dengan sikap yang saya ambil ini. Merasa tidak menghargai mereka yang sudah benar-benar berusaha untuk tertib dikelas.

Namun kemudian hati saya membela diri, berharap mereka akan belajar dari hari ini.

Semenjak hari itu, saya harus ekstra persiapan jika mengajar kelas 4. Dan minggu berikutnya, saya kembali ke kelas itu dengan perasaan canggung atas walk out minggu yang lalu. Dan, surprise,,, mereka lebih bisa diajak bekerja sama sekarang. Dan bahkan, bintang-bintang yang tidak jadi ditempelkan di awan impian, mereka tempelkan di rumah dan bahkan di buku mereka. Tidak mereka buang dan acuhkan layaknya mereka mengacuhkan perkataan saya sebelumnya.

Saya pun kembali memasangkan awan impian dan kembali membagikan bintang-bintang untuk diisi, dan kali ini mereka bisa tertib dan bahkan atas inisiatif sendiri dalam menempelkan bintang-bintang itu.

Children learn, and when we found out they did, it’s the greatest moment ever.

You know, it feels like a moment seperti saat seorang ibu melihat balitanya berusaha turun dari kursi padahal hari kemarin baru saja sang balita terjatuh saat turun dari kursi dan kepalanya terbentur lantai, lalu si ibu di kejauhan sudah siap berlari untuk membantu dan melindungi si balita tapi kemudian si ibu mendapati bahwa balitanya kali ini turun dari kursi dengan lebih hati-hati, nampak dari kaki mungilnya yang bergerak-gerak memastikan sudah memijak lantai dengan kuat sedangkan kedua tangan kecilnya menahan beban tubuh supaya tidak terjatuh, dan si balita pun berhasil berpijak di lantai dengan aman kemudian menoleh ke si ibu dan tersenyum manis sekali.

Seperti itulah perasaan saya hari ini.

They learn.


Cerita Lainnya

Lihat Semua