info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Desa Kepayang: desa yang "(meng) kota"

Milastri Muzakkar 13 Juni 2012

Namanya desa Kepayang. Letaknya cukup jauh dari  kota kabupaten. Butuh waktu sekitar delapan jam dari desa untuk sampai di kota kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Dari desa, biasanya harus menempuh jalur air-melewati sungai anak Musi- dengan menggunakan speddboat. Lalu dilanjutkan dengan menggunakan mobil travel dan bis.

Jika perjalanan ingin dilanjutkan ke kota Palembang, maka kita membutuhkan sekitar tiga jam lagi.  Sebenarnya, ada alternatif jalan lain dari desa Kepayang menuju Palembang. Yaitu menggunakan perahu besar (motor besar dalam bahasa orang sini) pada pukul dua malam dan sampai jam sembilan pagi di kota Palembang.

Letaknya memang di pinggiran Sumatera Selatan. Sehingga secara geografis bisa dibilang desa yang terdalam atau terpencil.  Menurut salah satu perangkat desa, penduduk di sini sembilan puluh persen pendatang dari berbagai suku bangsa. Mulai dari suku Palembang asli, Oki, Oi, Jawa, Batak, Sunda, bersatu padu dalam masyarakat ini.

 

Budaya yang “Mengota”

Letanya boleh di desa pinggiran. Umurnya pun masih seumur jagung-baru enam tahun memekarkan diri menjadi desa induk. Tapi bicara masalah kondisi, suasana, sikap, pola fikir dan perilaku, tunggu dulu.  Hal-hal yang biasanya hanya ada di kota, ada di sini. Hiburan menjadi hal yang sangat dicari oleh masyarakat. Maklumlah, Untuk nonton tivi saja, masyarakat harus menunggu malam hari tiba.

Pertama, dari segi fasilitas. Jika biasanya kita melihat orang bermain bilyard di cafe, atau minimal di pinggiran kota, bagi masyarakat Kepayang tidak perlu ke kota. Meja bilyard tertata  rapih di bawah kolong rumah salah satu warga. Ini menjadi permainan dari anak-anak hingga orang dewasa.

Selain itu, permainan lainnya adalah playstasion (PS). Salah satu rumah di seberang (rumah tersebut teletak di seberang sungai) mempunyai dua set playstation. Di situlah anak-anak biasa berkumpul pada jam pulang sekolah. Padahal sebenarnya PLN belum ada di sini. Umumnya masyarakat menggunakan PLTD, genset dan sinar surya untuk penerangan. Itu pun hanya berlaku dari jam enam sore hingga jam enam pagi. Tapi rumah tersebut rela mengeluarkan uang lebih untuk menghidupkan mesin sendiri demi memfasilitasi anak-anak bermain PS.

Orkes/orgen (band dangdut) dari pagi hingga pagi kembali adalah hiburan mubarok bagi masyarakat. Biasanya ini ada dalam acara pernikahan masyarakat yang berduit. Pada hari ini, kita akan menyaksikan masyarakat, dari dewasa hingga anak-anak berjoget dari pagi hari hingga pagi kembali. Sepertinya, kecerdasan kinestetik menjadi kelebihan masyarakat Kepayang.

Kedua, dari segi pola fikir dan perilaku. Umumnya masyarakat di sini terbilang cuek bahkan, acuh tak acuh terhadap hal-hal yang biasanya-paling tidak secara umum di desa-dianggap sesuatu yang perlu dijaga atau tabu untuk dibicarakan dan dilakukan. Beberapa hal itu (tidak bisa saya sebutkan di sini) biasanya hanya lazim terjadi di wilayah perkotaan. Di kota, hal tersebut cenderung mendapat pemakluman oleh masyarakat karena setiap orang cenderung sibuk mengurus dirinya masing-masing. Ini yang saya maksud pola fikir dan perilaku orang kota pada umumnya.

Mungkin ini pengaruh dari heterogennya suku yang ada di sini sehingga nilai-nilai atau budaya yang ada di satu daerah tak lagi menonjol. Percampuran banyaknya budaya itu akhirnya menutupi satu per satu budaya yang asli dari desa masing-masing.

Pengaruhnya pada Anak-anak

Hal ini pula yang memengaruhi pola fikir dan perilaku anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar. Tidak sama dengan anak-anak desa umumnya, yang cenderung berfikir tertutup, sedikit tertinggal terhadap hal-hal yang modern, anak-anak di sini justru tak jauh beda dengan artis-artis di televisi. Dari lirik lagu, tarian, serta istilah-istilah yang biasa dipopulerkan oleh pemain sinetron Putih abu-abu, Cherrybell, Seven Icon, XO9, Smash, hingga lagu-lagu remix –yang biasa diputar di cafe/bar-sangat familiar bagi mereka.

Setiap hari Minggu, kami berkumpul di sekolah untuk latihan tarian (biasanya tari Tanggai, khas Sumatera Selatan) dan dance. Awalnya, saya agak terkejut ketika melihat anak-anak begitu lincah menirukan dance layaknya dalam video klip lagu “Putih abu-abu” yang dipopulerkan oleh Blink. Bahkan anak-anak juga lihai meng-improve, memodifikasi, bahkan membuat gerakan sendiri dari lagu-lagu hits lainnya.

Beberapa anak ada yang memakai behel (kawat gigi) serta rambut disambung (dengan  rambut palsu). Di dalam kelas, di sela-sela pelajaran, anak-anak biasa ‘melempar’ kata-kata atau kalimat yang bisa dipopulaerkan oleh pemain-pemain sinetron remaja. Layaknya sebuah adegan sinetron, anak-anak terkadang mempraktekkan cara berbicara dan penampilan dari artis-artis di sinetron tersebut.

“Kamseupay, Euo!, You, me, forever, together,” (sambil menggunakan gaya dan mimik) adalah kalimat yang paling familiar di kelas. Saya selalu tersenyum bahkan kadang-kadang tak bisa menahan tawa melihat tingkah mereka. Apalagi saat anak-anak ‘menghujani’ saya dengan puluhan pantun-khas orang Sumatera- yang kata-katanya cenderung merayu, terkadang membuat saya hampir mabuk Kepayang J

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua