info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Antara Lhokseumawe dan Rumoh Rayeuk

Milastri Muzakkar 2 Januari 2012

Semakin hari, kedekatan dan rasa memiliki antara aku dan teman-teman kecilku di kelas, semakin dalam. Layaknya cerita dalam sinetron, sehari saja tak bertemu dengan mereka, serasa ada yang kurang di hari itu. Meski aku disibukkan dengan berbagai kegiatan lainnya, tetap saja mereka terkadang terlintas.

Dua Minggu ini adalah hari yang cukup sibuk. Berbagai kegiatan  baik yang berhubungan dengan sekolah, maupun kegiatan kelompok, membuat Pengajar Muda Aceh Utara harus mengaku bahwa: “Ya, saat ini kami betul-betul sibuk!”

Karena mengurus kegiatan kelompok itu, lima hari aku harus bolak-balik Lhokseumawe-Rumoh Rayeuk. Dulu, Lhokseumawe adalah kota kabupaten Aceh Utara. Sekitar tiga jam setengah dari desa Rumoh Rayeuk, tempat tinggalku. Biasanya aku menggunakan ojeg sampai di Kecamatan Panton Labu. Lalu melanjutkannya dengan angkutan umum yang biasa disebut mobil Jumbo. Tapi, semenjak Ludi (Pengajar Muda yang satu kecamatan denganku) mempunyai sepeda motor, kami sesekali tidak lagi menggunakan angkutan umum.

Dibandingkan dengan lokasi Pengajam Muda (PM) di daerah lain, memang tidak terlalu jauh anatara desa dan kota kabupaten. Tapi jika harus melaluinya pulang pergi, tentu cukup menguras tenaga dan mental. Kenapa mental? karena sore mulai menjelang, jalan dari Panton Labu menuju desa sangat sepi, dan gelap. Selain itu, pulang magrib (jangankan malam) bagi perempuan di Aceh akan menimbulkan image yang sangat tidak baik.

Ketika berdaa di Lhokseumawe, otomatis saya meninggalkan sekolah. Karena kebetulan saya wali kelas, sehari tak masuk sekolah artinya anak-anak akan kehilangan empat pelajaran, yang berhak mereka dapatkan. Belum lagi bicara masalah urusan di luar kelas (perpustakaan, pramuka, Les sore, Mading, persiapan lomba Sains KUAR, persiapan ujian semester, dll).

Karena memikirkan itu semua, aku selalu berusaha menyeimbangkan semuanya dengan cara bolak-balik antara Lhokseumawe dan Rumoh Rayeuk. Meski begitu, satu hari sampai juga aku dibatas kemampuanku. Akibatnya, dua hari aku terpaksa harus izin sekolah.

Hari masih subuh, tapi aku telah bersiap pulang ke desa dengan harapan  dapat mengajar meski hanya satu pelajaran. Begitu sampai rumah, aku bersih-bersih (tanpa mandi hehe...) dan langsung menuju sekolah. Setibanya di sekolah, dengan terengah-engah aku masuk kelas sambil tersenyum. Anak-anak pun langsung membalas dengan senyuman.

“Ibu kemana aja? Kenapa kemarin nggak datang?”, Irma mulai membuka pembicaraan.

“Kirain ibu duduk (tinggal) di rumah. Aku fikir sakit, ini nanti mau datang lihat ke rumah Ibu,” sambung Tri Agustian.

Sambil tersenyum, aku mulai mengondisikan anak-anak agar kembali duduk di bangkunya masing-masing.

“Ibu minta maaf, karena dua hari kemarin tidak ke sekolah. Ibu ke Lhokseumawe. Ini baru aja sampai tadi pagi. Tapi karena ingat kalian, makanya ibu berusaha pulang. Nanti setelah ini, ke Lhokseumawe lagi “ jelasku.

“Kenapa sih Ibu pergi-pergi terus? Ibu selalu tinggalin kami. kami tidak ada yang urus,” celetuk Lia dengan wajah yang cemberut.

“Waktu ibu pergi, kami dimarahin sama guru lain. Kemarin Cuma belajar dua pelajaran. Jangan pergi lagi bu,” sambung Hanafiah.

“Kalau ibu pergi kita nggak ada yang dapat Medali Emas. Kangen nih bu, udah lama nggak diumumumkan siapa yang dapat Medali Emas. Siapa tahu hari ini saya yang dapat hehe..., tambah Irma.

“Iya, ibu sekali lagi minta maaf. Ibu lagi ngurus sesuatu di Lhokseumawe. Ini juga untuk kepentingan kalian semua. Kemarin Ibu ketemu Bupati. Ini nanti mau ketemu lagi. Oya, kemarin belajar nggak? Ada yang tidak disiplin? Mengganggu kelas lain nggak?,” tanyaku

“Belajar dong bu...,” Jawab seluruh siswa

“Dua hari nggak ketemu kalian, ibu kangen nih. Kalian kangen nggak ya? Pengen denger lagu atau tepukan nih,” candaku.

“Kami juga kangen bu...,” jawab siswa serempak.

Kelas pun mulai gaduh. Mereka saling bertanya lagu apa yang sebaiknya dinyanyikan. Aku sengaja berlagak tidak memperhatikan, dan membiarkan mereka bermusyawarah. Aku mendengar, tiga orang siswa mengusulkan tepuk Terima Kasih.

“Hai..., tepuk trima kasih mantong untuk bu Mila. Be’ lago laen! (Hai, tepuk trima kasih aja untuk bu Mila. Nggak usah lagu lain),” teriak Lia dengan menggunakan bahasa Aceh.

Semua setuju. Semua siswa pun memilih Nazaruddin untuk memimpin tepuk terima kasih.

“Loh, kok untuk ibu? Maksud ibu tepukan untuk kita semua,” jelasku.

“Nggak apa-apa bu, untuk ibu aja karena ibu udah capek-capoek datang kesini untuk kami,” balas Maulidin.

“Teman-teman..., mari kita memberikan tepuk terima kasih untuk Ibu Mila karena sudah berusaha datang kesini hari ini,” begitu Nazaruddin memulai aba-aba.

Tepuk Trima kasih...

Prok, prok, prok, trima kasih

Prok, prok, prok, trima kasih

Ibu Mila hebat...

“Satu lagi, lagu Selamat Datang...,” teriak Jamaluddin.

Semua pun bernyanyi  sambil bertepuk tangan:

 Selamat datang Ibu Mila, selamat datang Ibu Mila, selamat datang kami ucapkan (2 X)

Salam, salam, terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama (2 X)

Subhanallah!,” aku hanya diam sambil tersenyum. Mataku hampir saja mengeluarkan butiran-butiran mutiara. Untung saja, aku berusaha menahannya sambil segera mengalihkan suasana.

“Terimaka kasih, kalian lebih hebat,” jawabku

“Ibu mau ketemu Bupati memangnya mau apa bu? Ibu bilang ya ke Bupati minta peng (uang) untuk ganti atap kelas kita yang bocor itu,” celetuk Hanafiah sambil menunjuk atap sekolah yang langganan kemasukan air saat hujan tiba.

Mendengar Hanafiah, beberapa siswa lainnya tertawa sambil mengiyakan perkataan Hanafiah.

Aku juga ikut tersenyum mendengar itu. “Memangnya kalau kalian ketemu Bupati, mau bilang apa?,” aku berusaha memancing mereka.

“Minta atap sekolah yang bocor itu diganti, buku pelajaran IPA, Al Qur’annya sudah robek, dibikinin WC, minta jalannya diperbaiki supaya nggak luwe’ (becek) ke sekolah, minta peng (uang) untuk ganti sepatu saya yang sudah masuk air kalau hujan hehe...,” begitu beberapa siswa menyampaikan pendapatnya.

Untuk menampung semua pendapat itu, aku terfikir untuk memfasilitasi mereka melalui surat. Aku pun membagikan mereka kertas HPS warna pink.

“Karena kalian belum bisa ketemu Bupati, jadi tulis surat aja dulu ya. Kalian boleh cerita apa saja tapi dengan kata-kata yang sopan. Nanti siang ibu kasih ke Bupati,” usulku.

“Oh jeut (bisa) bu, hehehe..., “ semua pun menyambut senang.

Akhirnya, pelajaran bahasa Indonesia pagi itu dialihkan menjadi menulis surat untuk Bupati. Setelah itu, Aku pamit untuk berangkat lagi ke Lhokseumawe. Anak-anak pun langsung berhamburan ke depan untuk bersalaman.

“Ibu naik motor ya sama bu Ludi? Hati-hati ya bu. Nanti kalau ditabrak, nggak ada lagi ibu Mila yang lain,” celetuk Hanafiah.

“Hati-hati ya bu, Besok datang ya bu! Ibu sudah janji, lanjut Suriana.

“Salam buat Bupati ya bu, jangan lupa kalau ada waktu suruh datang kesini,” tambah Randi.

Kalau sudah begitu keadaannya, perjalanan tiga setengah jam dari Lhokseumawe ke Rumoh Rayeuk, dengan medan yang cukup mempertaruhkan tenaga dan mental, rela aku tempuh demi teman-teman kecilku.

Untuk menambah apresiasiku, surat mereka aku bawa saat bertemu Bupati. Di akhir pertemuan, aku menyampaikan salam mereka untuk Bupati.

“Ini ada amanah dari siswa SD 04 Langkahan pak, tadi waktu ngajar saya bilang mau ketemu Bupati. Kalau ada waktu jalan-jalan ke sekolah katanya pak hehe...,” kataku sambil menyerahkan kumpulan surat berwarna Pink itu.

“Oiya, bilang apa mereka? Ini suara anak kecil nih, “ jawab Bupati sambil membaca satu surat dengan suara yang cukup keras.

“Wah, lucu juga, nantilah kita lihat,” lanjut Bupati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua