info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

AADB? (Ada Apa di Bawean?) – Bagian 1

Maisya Farhati 1 Oktober 2011

Semenjak saya ditugaskan mengajar di Pulau Bawean, Jawa Timur, banyak teman yang kemudian bertanya-tanya, “Di sana ada tempat wisata nggak, Cha?” atau “Pantainya bagus nggak, Cha?” atau “Gimana sih cara kesana?”, dan sebagainya.

Jujur saja, sebelum saya bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar, saya belum pernah mendengar tentang Bawean. Padahal di negeri tetangga kita, Malaysia dan Singapura, orang Boyan (sebutan untuk Bawean) cukup dikenal karena banyak sekali yang bekerja di sana sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kalau dilihat di Peta Indonesia, memang terkadang ada yang tak mencantumkan Pulau Bawean. Pun sumber informasi di berbagai literatur termasuk internet mengenai Bawean sangat terbatas. Pulau kecil ini merupakan bagian dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dan terletak di tengah Laut Jawa, di antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.

Di pulau seluas 196,27 km persegi ini hanya ada dua kecamatan, yaitu Sangkapura dan Tambak. Pelabuhan berada di Kecamatan Sangkapura, sedangkan saya ditugaskan di Kecamatan Tambak. Bawean: where beach meets mountains. Begitulah saya mendeskripsikan pulau ini secara singkat. Bawean terdiri dari daerah pesisir dan sebagian besarnya merupakan pegunungan. Uniknya, di pinggir pantai langsung ada sawah yang hijau terbentang. Indah dan sejuk dipandang mata.

 

Penduduk Bawean, seperti sudah saya sebutkan sebelumnya, disebut orang Bawean atau Boyan. Namun, menurut masyarakat lokal, sebenarnya mungkin tak ada orang yang benar-benar asli Bawean. Kalau ditilik lagi sejarahnya sampai ke kakek buyut bahkan yang lebih tua lagi, asal muasal orang Bawean itu ada yang dari Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Arab, dll. Hal ini karena dulunya Bawean sering menjadi tempat persinggahan, misalnya orang yang berlayar dari Jawa ke Kalimantan. Sehingga untuk masalah budaya dan adat istiadat pun banyak pengaruh dari berbagai daerah.

Salah satu budaya yang paling mengakar di Bawean adalah krecengan, mungkin kita lebih mengenalnya dengan istilah qasidah atau hadrah. Hampir di setiap acara, baik itu perpisahan sekolah, resepsi pernikahan, dan acara resmi di instansi pemerintahan, menampilkan seni krecengan ini. Bedanya dengan qasidah biasa, penampilan krecengan biasanya terdiri dari tiga baris. Baris yang paling belakang adalah pemukul rebana, baris kedua (tengah) adalah penyanyi, sedangkan baris paling depan adalah penari. Penari ini duduk bershaf dengan rapi, melakukan gerakan-gerakan tangan dan kepala seperti Tari Saman namun lebih sederhana.

 

Dalam berinteraksi, umumnya bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bawean. Menurut masyarakat, Bahasa Madura dan Bahasa Bawean itu bisa dibilang serupa tapi tak sama (Hmm..mungkin seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu ya). Ada pula yang bilang bahwa Bahasa Bawean adalah versi halus dari Bahasa Madura. Namun jika orang Madura dan orang Bawean asli mengobrol, keduanya masih bisa saling memahami.

Eson tero ngakana (Bahasa Bawean)

Engko tero ngakana… (Bahasa Madura)

Keduanya berarti “saya mau makan”.

 

Memang ada kosakata yang berbeda antara Bahasa Bawean dan Madura, namun lebih banyak kesamaannya. Perbedaannya terletak pada logat dan intonasi. Saya tinggal di dusun orang Madura. Mereka kalau berbicara intonasinya meninggi seperti orang sedang marah. Sering saya mengira ada orang sedang bertengkar karena seperti sedang saling berteriak satu sama lain. Ternyata bagi mereka itu normal-normal saja. Hehe…

Lain padang lain belalang.

 

(bersambung)


Cerita Lainnya

Lihat Semua