info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (2)

Arif Lukman Hakim 25 Mei 2012

Pak Anies Baswedan dan Om Srondol

Cerita lanjutan dari Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (1)

OmSrondol

6 Agustus 2011

Sejak kuliah dulu, aktifitasku memang cukup intens menyambangi dunia maya. Namun aku ragu jika disebut sebagai seorang blogger, karena mood blogging-ku cukup angin-anginan. Terlebih saat di daerah penugasan yang sangat nihil akses komunikasinya seperti ini. Aku ibarat bang toyib yang tak pulang-pulang karena mengaku blogger tapi tak online-online.

Namun kesempatan untuk ke kota biarpun sebulan sekali kumanfaatkan untuk mengakses internet dan meluapkan isi pikiran di lembaran-lembaran digital.

Aku memanfaatkan fitur auto publish agar blog kelihatan hidup. Setiap seminggu sekali tulisanku akan muncul secara otomatis, dan orang akan mengira bahwa aku bisa online secara reguler. Tulisanku memang muncul, meski komentar-komentarnya tak bisa kubalas karena posisiku di pulau nun jauh dari kota yang tak ada line internet sama sekali.

6 Agustus 2011 akhirnya tulisan berjudul “Sinyal Itu Mahal, Jendral!” muncul ke media digital. Yang ternyata mendapat respon dari rekan-rekan blogger.

Sinyal itu mahal, Jendral!

28 Agustus 2011

Aku kembali menyeberang ke kota untuk koordinasi dengan tim pengajar muda fakfak sekaligus memenuhi undangan open house dari kepala daerah. Di tengah kesibukan sebagai bagian dari kelompok pengajar muda, aku juga memanfaatkan kesempatan di kota ini untuk berinteraksi di dunia maya.

Penerapan sistem auto-publish berhasil, dan tulisanku muncul secara otomatis di blog yang sudah ku atur sedemikian rupa.

Saat aku mengecek blog satu persatu, ternyata ada sebuah pesan masuk,

FromOm Srondol

7 August 2011 : 02:20

Mas, terharu saya baca postingan mas soal sinyal di Papua… Postingan mas sudah saya kirim ke temen2 saya di Indosat… mari berdoa sama-sama agar di dengar Indosat.

Amiin…

 

Pesan itu dikirim 7 Agustus 2011, sehari setelah tulisanku muncul. Rupanya Om Srondol sangat antusias menunggu balasan pesan dariku. Dan, mungkin beliau terjebak dengan sistem auto-publish dari blog yang kemudian mengira aku ini sering online dan segera membalas pesannya itu. Kemungkinan yang lain, beliau penasaran, sehingga mengirim pesan berikutnya,

From Om Srondol

13 August 2011 : 02:30

Mas, Walau saya tidak yakin kapan akan menerima balasan pesan ini, setidaknya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas informasi ketiadaan sinyal di daerah nya mas…

Oh ya, postingan ini sudah saya sampaikan ke temen-temen saya di Indosat bahkan sudah di tembuskan ke Direksi Indosat. Saat ini sedang di rapatkan masukan dari mas ini.

Saya juga tidak bisa menjanjikan apa-apa, saya juga cuman bisa berharap semoga direksi Indosat mendengar ini dan mau membangun jaringan telekomunikasi disana, seandainya bukan berupa BTS setidaknya VSAT yang lebih murah drpd telepon satelit.

Sama-sama berdoa yuk mas Arif….

SRONDOL

Deggg….

Sampai di dengar direksi Indosat? Apa aku ini mimpi atau masih di dunia khayalanku?

Ah tidak, ini nyata!

Keoptimisanku semakin menyala. Bisa! Ini bisa membuahkan sesuatu yang nyata!

Pesan dari Om Srondol itu kubacaberulang-ulang, setelah kutimang-timang matang akhirnyakubalas saat sebulan kemudian akuke kota. Ya, sebulan kemudian. Karena agenda mengajar 3 kelas tidak bisa ditinggalkan asal-asalan, sedangkan kalau aku mengajar mereka di SDN Tarak, berarti tara da sinyal, tara bisa balas pesan :D

Tapi….

Apakah gara-gara telat membalas pesan ini Om Srondol mengira bahwa aku orang apatis yang tak menghiraukan perhatian orang lain? Atau, Om Srondol mengira aku tak akan kembali ke kota dan tak akan pernah membaca pesannya?

Ah sudah, akhirnya kuberanikan untuk membalas pesan Om Srondol.

To Om Srondol

28 August 2011 : 18:26

Assalamualaikum. Mas/Pak ya enaknya? hehe.

alhamdulillahirabbil alamiin, mas…. saya sampai bergetar tangannya menulis tulisan ini, entah mas, aku merasa benar2 bersyukur masih ada saudara yang mau ikut bersama-sama berjuang untuk negeri ini.

Perkara sinyal, sebenarnya bukan hanya untukku mas, tapi masyarakat di daerah pengabdianku. Bertahun-tahun mereka hidup tanpa listrik, jauh dari jangkauan karena transportasinya via laut dan hutan, dan tak ada sarana telekomunikasi.

Untuk bisa membalas tulisan mas ini, saya harus ke kota mas, lebih dari 3,5 jam. Alhamdulillah aku masih mendapat tumpangan dari perahu warga. Kalau tidak, mungkin baru bulan depan saya bisa balas.

Sekali ke kota, warga akan mengeluarkan uang minimal 1,5 juta hanya untuk BBM perahu, belum biaya menginap (karena jarang sekali bisa PP dalam sehari), dan biaya makan, dan lain-lain.

Saya hidup di Kampung Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kalau boleh tahu bagaimana cara mengetahui posisi GPS-nya ya mas? maklum, semakin kuper ini, hehe.

Semoga saja ihtiyar mas dan teman-teman berhasil.

Salam semangat dan cinta dari Papua.

Ja’alnallahu waiyyakum minal aidzin walfaidzin. Selamat idul Fitri 1432 H.

Ternyata prasangka ke-kuper-an ku tidak terbukti. Om Srondol sangat welcome dan kelihatan betul-betul akan memperjuangkan suara masyarakat. Saya juga semakin curiga, apakah orang ini hanya seorang blogger? Atau ada embel-embel provider telekomunikasi di belakangnya?

From Om Srondol

28 August 2011 : 20:12

alhamdulillah akhirnya ada kabar dari mas Arief, Oh ya, dari tempat kantornya kabar terakhir sangat menggembirakan.

Semoga para direksi dan temen2 Indosat yang lain segera bergerak. Sama-sama ber doa ya mas…

Karena keramahan Om Srondol ini, akhirnya kita berbalas pesan, semakin mengalir, sampai bertukar nomor handphone.

Om Srondol juga menanyaiku tentang usaha pencarian sinyal yang kita lakukan.

Kuceritakan senyatanya bahwa aku sudah coba untuk keliling pulaubersama murid-muridku,sambil jalan-jalan dan melihat-lihat burung di hutan kami juga berusaha mencari sinyal.

Aku juga sudah pernahmenyeberang ke pulau-pulau sebelah sampai ke pusat kecamatan, hanya untuk mencari sinyal barang 1 bar, tetap tidak ada.

Bahkan dengan nekad aku memancing sambil membawa antena penguat, siapa tahu ada sinyal di atas lautan yang terlewat, tetap tara dasinyal sama sekali.

Jika ingin menikmati sinyal, maka satu-satunya cara adalah warga harus ke kota, atau mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta (hanya untuk BBM perahu) dan menyeberang laut lebih dari 200 km.

Aku menceritakannya dalam sebuah tulisan berjudul “Berita Panggilan Papua Untuk Nusantara”.

Tak terbayang rasanya jika berawal dari kegalauan berubah menjadi kenyataan. Pikiranku kembali terbang menembus bintang.

Sinyal, akankah kau datang? Apakah jeritan dari 2.300-an jiwa di Kepulauan Karas akan segera mendapat jawaban?

Bersambung...

Lanjutan ceritanya klik di sini


Cerita Lainnya

Lihat Semua