info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Udang Rupat Saos Pedas Lada Hitam

Agus Rachmanto 16 Mei 2011
  Mak nyus! Kata Bondan Winarno ketika begitu nikmat mencicipi makanan. Begitu pula yang sedang saya rasakan. Dan hebatnya, saya sendiri yang memasaknya! Tentu dengan mentor kawan serumah, seorang Melayu asli asal Pulau Bengkalis yang juga guru di Hutan Samak. Kawan serumah itu, namanya Agustiar (sepertinya nama “Agus” adalah nama Indonesia. Setidaknya digunakan di Suku Sunda, Jawa, Melayu dan Akit) memang jago meracik hasil laut. Rasa pedas yang ditimbulkan perpaduan saos cabai dan lada hitam masih menempel di rongga mulut. Masih membekas di lidah dan belum mau pergi dari memori indera pengecap. Mak Nyus! Menjelang jam lima sore ketika sedang membereskan kamar, Putra mengetuk pintu. Putra adalah murid kelas enam dari lokal jauh di Ujung Pasir, yang untuk sementara tinggal di Hutan Samak untuk ujian. Ia mengucap salam dan masuk. Menawarkan udang yang dijajakan nelayan. Memang sering sekali nelayan yang baru merapat langsung menjajakan hasil tangkapannya door to door. Selain nelayan itu sendiri yang menawarkan hasil tangkapannya, tidak jarang istri-istri mereka (perempuan-perempuan tangguh itu) yang berkeliling. Dan salah satu tujuan favorit tempat menjajakan hasi tangkapan yang masih segar itu adalah komplek sekolah kami, SD N 4 Titi Akar alias sekolah Hutan Samak. Sering, ketika pagi atau siang hari saat anak-anak sedang belajar, muncul ibu-ibu di pintu kelas menawarkan ikan. Tentu saja ikan itu masih segar. Sangat segar. Tidak jarang pula ikan yang dibawa berukuran yang tidak bisa dibilang kecil. Sering yang dibawa adalah ikan yang berukuran panjang setengah meter. Saya tidak begitu hafal nama ikan. Tapi setidaknya ada ikan Hiu, Patin, Parang, Bawal, Pari, dan ikan panjang yang di Jawa (ketika sudah menjadi ikan asin) dikenal dengan Layur. Saya sendiri tidak begitu hobi dengan ikan (mungkin karena pengaruh tempat lahir dan tumbuh saya yang di daerah pegunungan). Namun tidak berarti pula tidak bisa menikmati ikan. Bawal bakar adalah salah satu ikan yang saya suka. Selain itu, ikan Parang (ikan yang baru saya kenal ketika memulai hidup baru di Bengkalis) juga terasa sangat nikmat ketika digoreng kering dan disajikan dengan sambal. Ikan parang adalah ikan yang tak begitu mahal dan cenderung tidak begitu digemari. Selain dagingnya tidak banyak, ikan ini terlalu banyak duri. Entah kenapa saya malah sangat menyukainya. Saya kurang begitu bisa menikmati ikan Hiu dan Pari karena kulitnya yang terasa licin (bagaimana saya membahasakannya?) walaupun kedua ikan ini menjadi primadona. Selain itu, ikan yang menjadi kebanggaan masyarakat Riau secara umum adalah ikan Patin. Sedangkan untuk masyarakat Bengkalis, wa bil khusus di Pulau Bengkalis, ikan Terubuk menjadi maskot. Namun, di antara hasil tangkapan nelayan, udang adalah favorit saya. Sejak kecil saya memang suka sekali dengan udang. Sewaktu kecil, saya sering menangkap udang di sungai yang (waktu itu) masih banyak ikan dan udang (belum banyak detetrjen yang masuk sungai). Apakah itu sekedar dibakar kemudian dimakan dengan sambal apalagi kalau dimasak dengan aneka bumbu. Dan sore ini Rupat menawarkan salah satu kenikmatan dunia: udang! Tentu saja saya mengiyakan tawaran Putra. Saya membeli sekilo udang putih yang harganya Rp 20.000,00. Harga ini tergolong sangat murah (termasuk untuk ukuran di Rupat) karena udang yang dijual campuran berbagai ukuran. Mulai dari yang seukuran kelingking tangan sampai yang segede ibu jari. Biasanya, harga untuk satu kilo udang putih dengan ukuran standar (dan ukurannya sama) berkisar antara Rp 30.000,00 sampai Rp 40.000,00 (berapa harga di Jakarta?). Saya memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan ke Putra. Ia yang bertransaksi ke penjual. Kurang dari sepuluh menit (sepertinya mereka menimbang di kedai Pak Nasir, tetangga di komplek sekolah), Putra sudah kembali ke rumah (rumah saya rumah nomor empat, Pak Nasir rumah nomor dua). Rupanya Putra mengalami perampokan sistematis. Udang yang sampai ke tangan hanya tujuh Ons. Tiga Ons sisanya telah dipalak Bu Ida, guru penghuni rumah nomor tiga (tentu saja saya hanya membayar tujuh Ons, sisanya dibayar Bu Ida). Pergilah saya ke perigi di belakang rumah nomor enam (yang ini rumah kosong, konon ada “penunggunya”) untuk mencuci udang. Setelah itu saya ke samping rumah nomor satu (yang ini berpenghuni manusia, sepasang suami istri yang keduanya guru) di mana terdapat bak besar tempat menampung air hujan. Kami semua, untuk keperluan memasak, menggunakan air hujan (selain PLN, PDAM juga belum masuk). Saya ngliwet, tentu dengan minyak tanah yang harganya per botol (sekitar 1,2 Liter) Rp 8.000,00. Konversi minyak tanah ke LPG belum sampai Rupat (emang mau nyampe?). Siap ngliwet, setelah diselingi mandi sore, dapur dipenuhi harum masakan kami. Mbak Farah Quin kali ini tak bisa mengalahkan! (“Siap” dalam terminologi Melayu sama maknanya dengan “selesai” walaupun bisa juga digunakan untuk makna “siap” yang sama seperti dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam baris berbaris: siap grak!). Pertama-tama udang kita bersihkan dengan cara membuang cangkang dan kepala (sewaktu membersihkan di perigi hal ini belum saya lakukan). Sembari membersihkan udang, kompor sudah kami nyalakan dan minyak dipanaskan. Siap itu, udang digoreng tetapi tidak sampai masak betul (“betul” pada kalimat ini semakna dengan mbanget di mBantul. Satu lagi terminologi Melayu). Setelah itu, tiriskan udang. Sisa minyak pada wajan jangan dibuang semua tetapi sisakan sedikit. Masukan saos ke dalam minyak yang masih mendidih itu kemudian masukan udang yang tadi sudah kita tiriskan (ngomong-ngomong, ngapain kudu ditirisin ye?). Setelah itu, taburkan bubuk lada hitam. Jadilah “Udang Rupat Saos Pedas Lada Hitamala Duo Agus! Hehehehe, simpel banget ya? Tapi sumpah mati enak! Besok lusa, akan saya ceritakan lagi kreasi dapur Hutan Samak. Dari Udang Rupat Saos Pedas Lada Hitam, bisa kita kembangkan menjadi Udang Rupat Bersembunyi di Pucuk Ubi dari Kejaran Bawang Merah Myanmar dalam Lautan Saos Pedas dan Taburan Lada Hitam. Selain dari Bukit Tinggi, bawang merah di Rupat (kata orang sini) berasal dari Myanmar. Tapi bawang merah jenis ini, diakui sendiri oleh si pedagang, kalah kualitas dari yang made in Indonesia. Oke, sepertinya kepanjangan, besok kita cari nama resep yang mudah diingat. Tertarik untuk ke Rupat? Dengan tangan terbuka kami akan menerima anda. Akan ada anak-anak lucu, murid-muridku, yang sudah mulai bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hafal Pancasila selain Udang Rupat Saos Pedas Lada Hitam, atau Udang Rupat Bersembunyi di Pucuk Ubi dari Kejaran Bawang Merah Myanmar dalam Lautan Saos Pedas dan Taburan Lada Hitam. Salam Hangat dari Rupat, Bengkalis Negeri Junjungan. Salam Pengajar Muda!

Cerita Lainnya

Lihat Semua