info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Senyum Malu Itu Benar-Benar Ada

Agus Arifin 9 November 2011

Senyum Malu Itu Benar-Benar Ada

Oleh: Agus Arifin

 

Minggu, 6 November 2011

            Kemarin adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di tanah Tati Bajo, sebuah desa pedalaman di kecamatan Ulumanda, Majene Sulawesi Barat. Jaraknya kurang lebih 8-10 jam dari kota Makassar. Indahnya kombinasi pemandangan gunung dan pantai yang memanjang menemani perjalananku di siang itu. Semuanya masih tampak alami dan begitu indah untuk dipandang. Ya..inilah Majene...tempat yang telah membuatku jatuh hati sebelum kaki ini menginjakkan kaki di buminya. Di sinilah akan kuukir sejarah baru dalam perjalanan hidupku. Rasanya masih seperti mimpi, tapi kusadari sepenuhnya bahwa ini bukanlah mimpi. Hujan masih belum juga reda, gelisah perlahan tapi pasti mulai menerobos masuk ke dalam kalbu. Maksud hati ingin segera sampai ke tempat tujuan, tapi cuaca belum memungkinkan bagiku untuk masuk ke desa pedalaman saat itu juga. Terlalu berisiko jika harus dipaksakan berangkat dalam kondisi hujan deras, karena jalan yang harus kulewati memang tak mudah. Aku harus melewati hutan cokelat yang naik turun dan sangat licin. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu sampai hujan sedikit reda.

            Hingga hari menjelang sore, hujan tak sederas sebelumnya. Setelah berdiskusi dengan temanku, pengajar Muda I yang akan kugantikan, saat itu juga kami sepakat bahwa kami harus berangkat. Motor siap ditancap, namun barang bawaanku yang begitu banyak, tak semuanya bisa terbawa, sebagian kutitipkan di rumah kepala sekolah. Di sepanjang jalan setapak yang begitu becek, tak satu pun rumah penduduk yang terlihat oleh mataku, yang ada hanyalah jajaran pohon-pohon besar dan kecil yang tumbuh tak beraturan. Selain itu, bentangan sungai yang lebar dan panjang, selalu terlihat menemani putaran roda motorku. Hamparan hutan cokelat, tebing-tebing curam dan hutan kayu yang masih rimbun menambah pesona kealamian Tati Bajo. Mata terasa sejuk memandangnya, seakan tersiram oleh tetesan obat mata dikala terjadi iritasi ringan. Tak ada banyak kata yang muncul...karena memang tak perlu banyak kata untuk mengungkapkannya...Subhanallah...This is Great....! hanya itu.

            Hari terlihat gmulai elap. Beberapa kali aku dan temanku harus turun dari motor karena beberapa kali pula kami hampir terjatuh akibat jalanan yang licin. Tak terasa kami pun sampai juga di perkampungan Tati Bajo. Jantung ini tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena lelah menempuh perjalan, tapi karena saat itu aku telah berdiri tepat di rumah orang tua angkat yang akan tinggal bersamaku selama satu tahun ke depan. Senyum hangat ditengah remang-remang menyambut kedatanganku. Terlihat sepasang suami istri dengan dua orang anaknya laki-laki dan perempuan yang masih kelas 6 dan kelas 5 SD. Mereka adalah keluarga pak Budi. Kusapa mereka dengan senyum terhangat yang kumiliki, sebagai bentuk persetujuan bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka. Kuelus kepala kedua anaknya (panji dan Memi). Kulihat senyum malu-malu menyembul dari wajah mereka. Hingga akhirnya senyum itu tenggelam bersama  senyum anak-anak lainnya yang mulai berdatangan menyambut kedatanganku. Mereka begitu polos dan bersahaja. Mereka memang tak putih dan tak bersih seperti anak-anak di kota pada umumnya. Mereka kotor dan kurang terawat. Kulitnya pun hitam akibat terlalu sering mandi di sungai. Tak masalah, karena bagiku mereka adalah mutiara. Ya..Mutiara dari Bumi majene. Mutiara yang harus aku gosok terus-menerus hingga menjadi kebanggaan bagi siapapun yang memilikinya. Dalam gelap kuhirup partikel-partikel udara dan berbisik “ terima kasih nak..atas senyummu, karena senyum itulah yang selama ini bapak bayangkan, dan membuat bapak bertahan hingga sekarang”. Ya senyum malu-malu itu..Senyum yang seringkali hadir dan menari-nari dalam imajinasi. Senyum yang membuatku bertekad, bahwa keberadaanku harus memberikan makna dalam hidup mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa hidup adalah bagian dari akumulasi mimpi. Hingga mereka tak lagi memiliki alasan sedikitpun untuk takut bermimpi. Karena bagiku mengajar bukan hanya masalah transfer pengetahuan, tapi lebih dari itu. Mengajar, bagiku adalah proses transfer akhlak, motivasi, dan inspirasi. Mengajar, bagiku adalah bagian dari bahasa hati, karena k yakin sepenuhnya yang mereka butuhkan bukanlah kekerasan tapi cinta dan klembutan hati.  (Arif)


Cerita Lainnya

Lihat Semua