info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bukankah Kami Juga Orang Indonesia?

Agus Arifin 31 Maret 2012

 

Selasa, 20 Maret 2012-03-20

Cerita ini berawal dari kunjunganku dengan sembilan pengajar muda lainnya ke kantor Dinas Pendidikan kabupaten Majene, untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ya, perayaan Maulid Nabi di Majene memang tergolong unik. Semua elemen masyarakat antusias untuk merayakannya tak hanya 1 bulan, melainkan 4 bulan berturut-turut. Adalah sebuah kehormatan bagi Pengajar Muda, karena mendapat undangan secara khusus dari jajaran pejabat dinas pendidikan kabupaten Majene. Di sana turut hadir pula kepala sekolah dasar dari seluruh kabupaten Majene. Kami sepuluh Pengajar Muda, sejak awal sangat antusias mengikuti acara yang memang sangat berbeda dengan acara di kampung kami.

Di tengah hiruk pikuk acara, kulihat seorang laki-laki setengah baya telah berdiri di hadapanku dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. Kusambut tangannya dengan senyum teramah yang kumiliki. Pak Syarifudin, nama laki-laki itu. Beliau adalah kepala sekolah di SD Apoang Kecamatan Sendana. Apoang adalah sebuah dusun yang cukup terpencil dengan jalanan yang sangat terjal dan menanjak (Lokasinya melewati tempat Luluk, sahabatku sesama Pengajar Muda Majene). Jaraknya kira-kira dapat ditempuh 8 jam dari jalan poros. Jika sedang musim kemarau, jalanan dapat ditempuh dengan menggunakan motor. Namun jika musim hujan, maka jalan kaki adalah satu-satunya solusi untuk sampai di sana. SDN Apoang adalah salah satu SD yang sangat kekurangan guru. Dari 6 rombongan belajar (6 kelas), hanya ada 2 guru kelas (PNS) dan sisanya guru honor yang sudah berbulan-bulan tak kunjung mengajar. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga kini. Pemerintah terkesan menutup mata dan tak peduli dengan masalah tersebut.

Meskipun baru saja bertemu, dari sorotan matanya, aku dapat merasakan bahwa pak Syarifudin adalah guru yang berdedikasi. Meski beliau tinggal di lokasi yang jauh dari SD tempatnya mengajar (SDN Apoang), beliau tetap bersemangat untuk mengajar murid-muridnya. Karena tak memiliki satu pun saudara disana, beliaupun harus tinggal di rumah salah satu warga. Karena jika tidak, maka tak akan ada guru yang mengajar disana, karena guru-guru yang ada sering kali malas untuk naik, lantaran jalanan yang harus ditempuh sangat rusak dan terjal. Saking beratnya medan yang harus ditempuh, pak Syarifudin seringkali menangis ketika berangkat dari rumahnya menuju ke sekolah. Beliau bercerita, pernah saat UASBN tahun lalu, murid-muridnya harus berjalan kaki menuju salah satu SD yang ada di jalan poros untuk mengikuti UASBN gabungan.  SDN Pamboang sendiri tak dapat melaksanakan UASBN secara mandiri karena jumlah murid yang terlalu sedikit.

“Murid-murid saya itu pak..sampai nangis di tengah jalan karena tidak kuat berjalan kaki sejauh itu dengan kondisi jalanan yang curam...Mereka mengeluh kepada saya “pak Capek pak..katanya” saya hanya bisa menyemangati dan menghibur mereka semampu saya” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Beliau juga bercerita tentang betapa inginnya beliau agar sekolahnya menjadi salah satu tempat tujuan penugasan Pengajar Muda. Sejak awal dari cara beliau menyambutku, aku tahu bahwa beliau adalah orang yang ramah dan sangat respek dengan Pengajar Muda.

“Saya sudah pernah bilang sama Pengajar Muda sebelumnya, agar disampaikan kepada pak Anies, bahwa SD kami sangat kekurangan guru. Kami sangat mengharapkan agar ada juga Pengajar Muda di SD kami. SD kami benar-benar kekurangan guru pak. Setiap hari banyak kelas yang kosong karena tak ada guru yang mengajar, sementara dari dinas selalu menuntut sekolah kami untuk lulus 100 persen sama seperti SD-SD yang ada di kota, bagaimana itu pak? Guru-guru banyak menumpuk di kota, sementara yang di daerah terpencil seperti kami ini sangat sedikit gurunya dan kami diberikan target sama dengan mereka yang ada di kota. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi pak, sudah sering saya menyampaikan kepada atasan (UPTD dan Pejabat Dinas) tapi ya tetap saja begini. Tak ada yang peduli dengan nasib kami. Mungkin kami ini tidak dianggap sebagai orang Indonesia ya pak?  Kami juga butuh guru pak...bukan hanya yang di kota” bebernya sembari menghela nafas panjang. Matanya yang tadinya berkaca-kaca pun mulai meneteskan cairan bening yang sudah tak kuasa dibendungnya. Aku tak dapat berkata apa-apa saat itu. Kata-kata yang sungguh sederhana, tapi seolah menjadi tamparan yang keras bagiku. Keras, keras sekali bahkan. Seharusnya pihak dinaslah yang merasa paling tertampar dengan pernyataan itu. Aku hanya mematung memandang wajah laki-laki bersahaja yang berdiri di hadapanku. Ya, laki-laki yang benar-benar menjiwai tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang guru.  Aku dapat merasakan apa yang beliau rasakan. Rasanya sungguh tak adil jika banyak guru menumpuk di perkotaan, sementara di pegunungan sangat kekurangan guru.

Saat kepala Dinas Pendidikan menyampaikan sambutannya dan mengatakan “Bapak-bapa , ibu-ibi sekalian..Majene ini secara individu siswanya selalu mendapatkan juara dalam olimpiade Sains, tapi mengapa dalam Ujian Nasional, kita selalu menjadi yang terendah di Provinsi Sulbar? Dari evaluasi kemarin banyak yang bilang kalau kita terlalu jujur dalam mengawasi anak-anak saat ujian”, mendengar itu, rasanya telinga dan tanganku mendadak ‘gatal’.  Ingin sekali kusambar microfon yang ada di podium dan mengatakan, “Bapak kepala dinas yang terhormat, jika anda mengatakan bahwa kegagalan Ujian Nasional di Majene disebabkan oleh pengawasan yang terlalu ‘jujur’, maka mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena menurut saya pendapat itu kurang tepat. Masalah yang sebenarnya adalah tidak adanya pemerataan guru di sini. Banyak guru menumpuk di perkotaan. Cobalah sesekali anda naik ke sekolah kami yang ada di gunung-gunung, di bukit-bukit dan di tengah hutan belantara. Jangan hanya berdiam diri menikmati kemapanan kota! Di gunung tempat kami mengajar, anda akan menemukan akar permasalah pendidikan yang sebenarnya. Di Kota,setiap hari guru bisa hadir dengan mudah. Bahkan seringkali guru yang hadir lebih banyak daripada kelas yang harus dimasuki, sedangkan kami yang ada di gunung, ada guru yang datang mengajar saja sudah syukur alhamdulilah,” Ingin sekali kukatakan itu, namun aku tak bisa. Bukan karena takut, melainkan keasadaran bahwa tindakan seperti itu bukanlah tindakan yang bijak. Hasilnya belum tentu di dapat, yang ada orang akan terluka dan merasa dipermalukan. Sungguh aku tak ingin melukai perasaan orang lain apalagi sampai mempermalukannya di depan umum. Aku juga sadar akan posisiku saat ini. Aku terikat dengan sebuah instansi (Indonesia Mengajar) yang harus menjaga hubungan baik dengan Stakeholder pendidikan (salah satunya adalah dinas pendidikan), sehingga kalaupun ada kritikan, semuanya harus tetap disampaikan dengan cara yang elegan dan dalam pertemuan yang terbatas, bukan di depan umum yang malah akan menjatuhkan citra dinas pendidikan Majene di hadapan banyak kalangan yang hadir saat itu. Karena kami (Pengajar Muda), hadir ke sini bukan untuk mengecam kegelapan (mengeluh dengan segala kebobrokan yang ada), melainkan untuk menyalakan lilin yang telah padam. Dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk itu. Bukan untuk disebut pahlawan, bukan pula untuk mendapatkan sanjungan, melainkan untuk meyakinkan diri bahwa kehadirannya di dunia ini masih berguna.

Hari ini aku kembali disadarkan betapa kompleksnya permasalahan pendidikan di Indonesia, khususnya di kabupaten Majene yang menisbatkan dirinya sebagai Ibukota pendidikan. Namun, justru dari situlah aku banyak belajar tentang tanggungjawab dan pengorbanan. Hari ini aku pun kembali belajar tentang arti ketulusan. Ya, ketulusan dari pak Syarifudin yang memberikan tamparan keras kepadaku. Ketulusan yang kini telah luntur dan menguap dari jiwa sebagian guru di negeri ini. Padahal karena ketulusan itulah yang akhirnya melahirkan sebuah komitmen dan tanggungjawab untuk mengabdi. Menjadi guru yang terus mengajar dan mengajar hingga titik darah penghabisan, hingga nyawanya terpisah dari raganya. Karena kesadaran yang tumbuh dari dalam diri, bahwa menjadi guru, bukanlah sebuah pengorbanan, melainkan sebuah kehormatan.” Ah, seandainya semua guru di negeri ini sepertimu pak...mungkin sejak dulu ibu pertiwi telah tersenyum bahagia. Sungguh mulia hatimu pak..semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesabaran kepadamu. Terimakasih, karena hari ini engkau telah memberiku sebuah bukti, bahwa di republik ini masih ada seorang pejuang.”

 

Catatan Agus Arifin

Pengajar Muda Kabupaten Majene

Sulawesi Barat....

Kegelapan Malam tanpa sinyal HP

Sungai sebagai kamar mandi...tetap tersenyum menikmati...  J


Cerita Lainnya

Lihat Semua